Malam, Pikiran, dan Tukang Kupat yang Terima Lontong
Malam ini aku duduk di tepi dunia
bersama filsafat yang tak pernah menjanjikan apa-apa.
Namanya Nihilisme
dingin, tenang, tak berselera akan makna,
tapi setia duduk menemaniku
tanpa basa-basi harapan.
Kami tak bicara tentang surga
atau cita-cita masa kecil yang ditanamkan buku pelajaran.
Kami bicara tentang lubang
yang ada di tengah dada manusia,
lubang yang kadang diisi Tuhan,
kadang diisi cinta,
dan lebih sering dibiarkan kosong begitu saja.
"Jadi... segalanya sia-sia?" tanyaku.
Nihilisme tertawa kecil,
seperti filsuf tua yang tak butuh jawaban.
"Bukan sia-sia. Hanya… tidak mutlak penting.
Dan dalam ketidakpentingan itulah,
kau bebas."
Kami berdialektika,
tentang absurditas yang terasa lebih jujur
dibanding optimisme yang dipaksakan.
Tentang arti yang lahir justru karena ketiadaan arti.
Tentang bagaimana kehampaan bisa dipeluk,
bukan untuk dikalahkan,
tapi untuk dijadikan tempat duduk paling nyaman malam ini.
"Jadi, harus ke mana aku melangkah?"
"Ke arah manapun. Tapi sadarlah,
tak ada tanah yang benar-benar suci di peta makna."
Ia menyalakan sebatang kata yang basi,
tapi malam tetap mendengarnya dengan khidmat.
Dan di bawah langit yang sudah lama mati,
aku dan nihilisme terus berdialektika.
Kami mungkin tak menemukan kebenaran,
tapi kami tahu satu hal:
Bahwa berpikir adalah bentuk tertinggi dari bertahan,
bahkan ketika hidup tak lagi menawarkan alasan.
Dan di sudut jalan kecil yang kusam,
ada tukang kupat tua yang menempelkan tulisan:
“Menerima Pesanan Lontong.”
Aku tertawa sendiri,
karena betapa hidup ini kadang susah diterka,
seperti tukang kupat yang malah menerima pesanan lontong.
Wkwk.