Kerenceng Tak Perlu ke Puncak untuk Sampai
“Kadang, gunung tidak menuntut untuk didaki sampai atas. Cukup sampai tempat di mana kita bisa mendengar diri sendiri.”
Ada satu hari saat langkah terhenti di tengah jalur pendakian Gunung Kerenceng. Bukan karena tubuh lelah, tapi karena rasa bilang: cukup di sini. Kabut menutup pandangan, namun membuka kesadaran bahwa tidak semua perjalanan harus diselesaikan dengan mencapai puncak.
Gunung Kerenceng, yang menjulang tenang di Sumedang, bukan hanya gugusan tanah dan batu. Ia adalah simbol spiritualitas bagi masyarakat Sunda. Dalam kepercayaan lama yang masih hidup dalam nilai-nilai Sunda Wiwitan gunung dipercaya sebagai tempat para karuhun (leluhur) bersemayam. Gunung adalah ruang sakral. Ia bukan untuk ditaklukkan, tapi untuk dihormati.
Saat duduk di antara rerumputan, dengan tanah yang masih basah dan kabut yang menggantung seperti tirai, muncul rasa yang sulit dijelaskan: nyambung.Nyambung antara tubuh dan tanah. Nyambung antara suara angin dan hening dalam dada.
"Nyaah ka Alam, nyaah ka diri sorangan. Nyaah ka karuhun nu ngajaga."
(Cinta pada alam, cinta pada diri sendiri. Cinta pada leluhur yang menjaga.)
Itulah prinsip dasar yang tumbuh dalam jiwa masyarakat Sunda. Bahwa kehidupan bukan sekadar maju dan tinggi, tapi juga ngarasa merasakan, menghargai, dan menyelaraskan diri dengan alam dan leluhur.
Di titik berhenti itu, Gunung Kerenceng justru memberi pelajaran paling dalam. Bahwa spiritualitas bukan soal mantera atau ritual besar, tapi soal rasa nyambung antara diri dan semesta. Bahkan jika tak sampai puncak, jiwa tetap pulang dengan penuh.
 "Ulah nyorang sagalana ku hulu, tapi kudu ku rasa."
(Jangan jalani hidup hanya dengan pikiran, tapi dengan rasa.)
Jadi, tak perlu malu bila langkahmu tak sampai ke atas. Barangkali di tempatmu berhenti itulah, gunung sedang bicara. Memberi ruang untuk mendengar, untuk merasa, dan untuk mengerti: tak semua yang tinggi membawa arti kadang, yang sunyi justru menghidupi.
Ingin mendaki Kerenceng?
Bawalah lebih dari sekadar ransel. Bawalah hormat, rasa, dan niat baik.
Karena Kerenceng bukan sekadar puncak ia adalah tempat belajar diam, dan pulang dengan makna.
