Vasektomi dan Jalan Panjang Menuju Keadilan Reproduksi
Ada hal-hal yang terlalu suci untuk dipertanyakan di negeri ini. Salah satunya adalah kejantanan laki-laki. Jangan coba-coba menyarankan vasektomi, kecuali kamu ingin dianggap menghina martabat pria dan mengancam ketahanan keluarga nasional. Di negeri yang penuh cinta keluarga ini, laki-laki bebas membuahi siapa saja, tapi jangan pernah minta mereka memotong saluran sperma. Itu melewati batas. Lebih baik negara memotong anggaran pendidikan, daripada laki-laki kehilangan mitos tentang dirinya.
Sementara itu, perempuan makhluk yang selalu disebut sebagai “tulang rusuk” dipaksa berhadapan dengan segala bentuk teknologi kontrasepsi: pil yang bikin mual, suntik yang bikin depresi, IUD yang bikin nyeri, implan yang bikin pendarahan tak kunjung usai. Semua itu atas nama keluarga berencana. Tapi siapa yang merencanakan? Siapa yang menanggung efek sampingnya? Dan siapa yang berhak mengambil keputusan? Tidak perlu tanya. Jawabannya sudah diatur dalam program dan anggaran.
Program KB di Indonesia sejak awal adalah proyek nasional yang sangat maskulin dalam cara paling ironi: ia dibebankan seluruhnya kepada tubuh perempuan. Negara mengklaim ingin “membebaskan perempuan”, tapi dengan memasukkan logam kecil ke rahim mereka. Dan ketika perempuan mulai lelah dengan kontrasepsi hormonal, negara tidak menawarkan alternatif, hanya menyarankan: "Sabar ya, Bu. Demi keluarga."
Data BKKBN tahun 2023 memperlihatkan bahwa pengguna kontrasepsi perempuan mendominasi hingga 93%. Metode untuk laki-laki? Masih menjadi ornamen statistik. Vasektomi? Lebih langka daripada politisi jujur. Laki-laki, tampaknya, terlalu sibuk menjaga kehormatan skrotumnya untuk berpikir soal tanggung jawab reproduktif.
Mengapa? Karena dalam imajinasi sosial kita, vasektomi bukan hanya prosedur medis, tapi pengkhianatan terhadap identitas. Sebuah riset oleh Suryoputro (2020) menemukan bahwa banyak laki-laki menolak vasektomi karena takut dianggap tidak jantan. Padahal, secara medis, vasektomi tidak memengaruhi hasrat seksual atau performa ranjang. Tapi ya begitulah, persepsi lebih penting dari realitas. Toh, masyarakat kita memang lebih percaya pada mitos dan grup WhatsApp keluarga ketimbang jurnal medis peer-reviewed.
Lucunya, negara seolah tidak tahu harus berbuat apa. Daripada mengedukasi laki-laki, lebih mudah menggencarkan kampanye ke perempuan. Dari penyuluhan, door-to-door, sampai hadiah sembako. Alat kontrasepsi tak lagi dipilih secara sadar, tapi dipaksakan secara halus. Negara mencintai rahim perempuan, tapi hanya kalau bisa diatur. Tubuh perempuan menjadi ladang produksi kebijakan: ditanami alat, dipupuk hormon, lalu dipanen sebagai angka statistik keberhasilan.
Sementara laki-laki tetap menikmati posisi aman: tidak disentuh, tidak disalahkan. Mereka cukup menyerahkan tanda tangan saat istri ikut KB. Perannya dalam pengendalian kelahiran? Simbolis. Sesekali ikut penyuluhan demi formalitas, sesekali bersyukur karena tidak harus muntah-muntah tiap bulan seperti istrinya.
Dan di tengah semua ini, vasektomi tetap diperlakukan seperti isu subversif. Padahal, jika laki-laki bersedia menjalani vasektomi secara sukarela, itu bukan bentuk kelemahan. Itu bentuk cinta. Tapi di budaya ini, cinta bukan tentang berbagi beban, melainkan siapa yang paling tahan menyuruh orang lain menanggungnya.
Apakah kita akan terus begini? Mungkin. Toh selama ini tidak ada yang benar-benar marah. Perempuan sudah terbiasa. Mereka pingsan karena KB? Ah, biasa. Mereka stres karena hormonal tidak stabil? Wajar. Mereka menanggung semuanya sambil tetap tersenyum dalam iklan KB versi pemerintah.
Tapi jika masih ada akal sehat tersisa, sudah waktunya kita balik arah. Sudah waktunya laki-laki mengambil peran lebih dari sekadar penonton di kursi belakang. Sudah waktunya kita berhenti menjadikan rahim perempuan sebagai solusi tunggal untuk masalah struktural. Sudah waktunya kita mengakui: kejantanan bukan terletak pada seberapa banyak anak yang bisa dibuahi, tapi pada keberanian untuk berkata, “Cukup.”
Vasektomi bukan akhir dari keperkasaan. Ia awal dari kemanusiaan. Tapi ya, mungkin kita belum siap menjadi manusia. Kita masih sibuk menjadi "laki-laki".
-G.A-