24 Mei 2025


Nenek kami lahir di antara dua denting sejarah, ketika tanah air baru saja lepas dari belenggu penjajahan namun belum sempat bernapas lega dari jerat revolusi sosial yang berkecamuk. Suara meriam belum sepenuhnya padam, tapi di pelupuk mata rakyat, harapan mulai menari-nari seperti daun kering diterpa angin pagi.

Ia bukan siapa-siapa di mata dunia, tapi di mata kami, ia Dewi Sartika yang menjelma sederhana. Perempuan tabah yang menjahit luka bangsa dengan benang sabar dan benang cerita. Ia pandai menenun kisah. Dari dapur sederhana, ia bisa membuat kami duduk rapi, mendengarkan petualangan masa lalu yang ia simpan di lipatan ingatan, seperti kain batik tua yang harum oleh waktu.

“Jangan pernah merasa kecil karena kau perempuan,” katanya, sambil mengaduk sayur lodeh yang tak pernah gagal membawa kami pulang. “Kita ini akar. Kita ini tiang.”

Ia saksi ketika sawah menghampar luas di desa kami, hijau memukau, memeluk cakrawala. Tapi betapa getir, karena di balik keindahan itu, banyak rakyat yang lapar. Hujan turun deras, padi tumbuh subur, namun perut-perut kecil tetap keroncongan oleh janji kemerdekaan yang belum sempat mengeyangkan.

Di masa Orde Baru, ketika pembangunan berdiri megah tapi air bersih sulit dijangkau, ia berikan tanah di samping masjid. Sebidang kecil, tapi cukup untuk menggali sumber, mata air yang kini mengalir ke kran-kran rumah warga. “Air itu hak semua orang,” katanya pelan, “bukan hanya yang punya uang.”

Ia juga aktif di posyandu, menimbang bayi, mencatat imunisasi, membagi bubur kacang hijau dan telur rebus sambil menasihati para ibu muda agar tak menyerah pada lelah. Ia tahu, masa depan bangsa tak hanya dibentuk di gedung-gedung besar, tapi juga di pangkuan ibu yang diberi makan cukup dan semangat hidup yang menyala.

Di balik langkah-langkahnya yang sederhana, ia juga lihai mengatur perelek. Sumbangan beras segenggam dari setiap rumah yang ia kumpulkan saban minggu. Dengan itu, tahlilan tak pernah kekurangan. Jika duka datang mengetuk rumah siapa pun, nasi tumpeng tetap tersedia, air doa tetap mengalir. “Kesedihan jangan dibiarkan sendiri,” ucapnya, “biar kita hadir, meski hanya lewat sesuap nasi dan ayat pendek.”

Ia perempuan sabar yang tak hanya menjaga rumah, tapi juga menahan perih dari zaman yang terus berubah. Ia pejuang yang keluar dari sunyi, menolak menyerah pada nasib. Dalam hidupnya, tak ada kata mengeluh. Hanya doa, dan langkah-langkah kecil yang menggemakan makna besar. Bertahan adalah juga perjuangan.

Kini, di ujung usia, rambutnya memutih seperti langit pagi, tapi sorot matanya masih menyala. Ia tetap bercerita, tentang tanah yang dulu berdarah, tentang mimpi-mimpi yang ditanam dengan cinta. Dan kami, cucu-cucunya, adalah ladang tempat ia berharap tumbuhnya pohon-pohon baru, yang tahu dari mana akar mereka berasal.

Lekas sembuh, lebih pulih, Hajah Deuis Komariah. Perempuan kuat yang tak pernah suka dibumbui gelar Raden di depan namanya. Padahal, uyut kami adalah Raden Oting Anggawinanta. Tapi baginya, hormat tak ditanam dari nama, melainkan dari kerja dan kesabaran yang tak pernah usai.


Bila ingin dikembangkan menjadi buku kenangan keluarga dengan tambahan foto atau narasi tiap babak hidupnya, saya siap bantu menyusunnya.

juga aktif di posyandu, menimbang bayi, mencatat imunisasi, membagi bubur kacang hijau dan telur rebus sambil menasihati para ibu muda agar tak menyerah pada lelah. Ia tahu, masa depan bangsa tak hanya dibentuk di gedung-gedung besar, tapi juga di pangkuan ibu yang diberi makan cukup dan semangat hidup yang menyala.

Di balik langkah-langkahnya yang sederhana, ia juga lihai mengatur perelek. Sumbangan beras segenggam dari setiap rumah yang ia kumpulkan saban minggu. Dengan itu, tahlilan tak pernah kekurangan. Jika duka datang mengetuk rumah siapa pun, nasi tumpeng tetap tersedia, air doa tetap mengalir. “Kesedihan jangan dibiarkan sendiri,” ucapnya, “biar kita hadir, meski hanya lewat sesuap nasi dan ayat pendek.”

Ia perempuan sabar yang tak hanya menjaga rumah, tapi juga menahan perih dari zaman yang terus berubah. Ia pejuang yang keluar dari sunyi, menolak menyerah pada nasib. Dalam hidupnya, tak ada kata mengeluh. Hanya doa, dan langkah-langkah kecil yang menggemakan makna besar. Bertahan adalah juga perjuangan.

Kini, di ujung usia, rambutnya memutih seperti langit pagi, tapi sorot matanya masih menyala. Ia tetap bercerita, tentang tanah yang dulu berdarah, tentang mimpi-mimpi yang ditanam dengan cinta. Dan kami, cucu-cucunya, adalah ladang tempat ia berharap tumbuhnya pohon-pohon baru, yang tahu dari mana akar mereka berasal.

Lekas sembuh, lebih pulih, Hajah Deuis Komariah. Perempuan kuat yang tak pernah suka dibumbui gelar Raden di depan namanya. Padahal, uyut kami adalah Raden Oting Anggawinanta. Tapi baginya, hormat tak ditanam dari nama, melainkan dari kerja dan kesabaran yang tak pernah usai.