Ode Untuk Hajah Deuis Komariah
Nenek kami lahir di antara dua denting sejarah, ketika tanah air baru saja lepas dari belenggu penjajahan namun belum sempat bernapas lega dari jerat revolusi sosial yang berkecamuk. Suara meriam belum sepenuhnya padam, tapi di pelupuk mata rakyat, harapan mulai menari-nari seperti daun kering diterpa angin pagi.
Ia bukan siapa-siapa di mata dunia, tapi di mata kami, ia Dewi Sartika yang menjelma sederhana. Perempuan tabah yang menjahit luka bangsa dengan benang sabar dan benang cerita. Ia pandai menenun kisah. Dari dapur sederhana, ia bisa membuat kami duduk rapi, mendengarkan petualangan masa lalu yang ia simpan di lipatan ingatan, seperti kain batik tua yang harum oleh waktu.
“Jangan pernah merasa kecil karena kau perempuan,” katanya, sambil mengaduk sayur lodeh yang tak pernah gagal membawa kami pulang. “Kita ini akar. Kita ini tiang.”
Ia saksi ketika sawah menghampar luas di desa kami, hijau memukau, memeluk cakrawala. Tapi betapa getir, karena di balik keindahan itu, banyak rakyat yang lapar. Hujan turun deras, padi tumbuh subur, namun perut-perut kecil tetap keroncongan oleh janji kemerdekaan yang belum sempat mengeyangkan.
Di masa Orde Baru, ketika pembangunan berdiri megah tapi air bersih sulit dijangkau, ia berikan tanah di samping masjid. Sebidang kecil, tapi cukup untuk menggali sumber, mata air yang kini mengalir ke kran-kran rumah warga. “Air itu hak semua orang,” katanya pelan, “bukan hanya yang punya uang.”
Ia juga aktif di posyandu, menimbang bayi, mencatat imunisasi, membagi bubur kacang hijau dan telur rebus sambil menasihati para ibu muda agar tak menyerah pada lelah. Ia tahu, masa depan bangsa tak hanya dibentuk di gedung-gedung besar, tapi juga di pangkuan ibu yang diberi makan cukup dan semangat hidup yang menyala.