Dua Hari, Satu Napas Perjuangan
Apa arti kedekatan tanggal antara Hari Buruh Internasional dan Hari Pendidikan Nasional? Apakah ini sekadar kebetulan kalender, atau justru sebuah pengingat simbolik bahwa tubuh dan akal bangsa dibangun dari peluh yang sama? Di satu sisi, kita mengenang buruh sebagai motor ekonomi bangsa. Di sisi lain, kita merayakan guru sebagai penyalur pengetahuan dan penjaga akal sehat generasi. Keduanya berada di garis depan sejarah Indonesia, meski jarang kita sandingkan dalam satu narasi besar.
Hari Buruh, yang dirayakan sejak aksi demonstrasi pekerja di Haymarket Square, Chicago tahun 1886, adalah simbol perlawanan terhadap sistem kerja yang menindas. Di Indonesia, peringatan ini resmi diakui pada era Presiden Abdurrahman Wahid setelah sebelumnya dibungkam secara de facto pada masa Orde Baru. Padahal sejak masa Hindia Belanda, buruh Indonesia telah menjadi bagian dari denyut nasionalisme. Pada 1920-an, Serikat Buruh seperti VSTP yang dipimpin Semaun bukan hanya memperjuangkan hak kerja, tapi juga menjadi bagian dari gerakan kemerdekaan. Buruh sejak awal bukan sekadar penggerak roda ekonomi, tapi juga agen perubahan sosial.
Sementara itu, Hari Pendidikan Nasional lahir dari pemikiran Ki Hadjar Dewantara, pendiri Taman Siswa, seorang visioner yang mengubah pendidikan dari alat kolonial menjadi senjata pembebasan. Ia berkata, “Setiap orang menjadi guru, setiap rumah menjadi sekolah.” Kalimat ini bukan sekadar kutipan manis untuk upacara tahunan. Ini adalah ajakan untuk menumbuhkan semangat kolektif mencerdaskan bangsa, bukan hanya lewat kurikulum, tetapi melalui kehidupan sehari-hari.
Kini sistem telah bergeser, tetapi masalah-masalah lama tetap membayangi. Buruh Indonesia hari ini masih harus berjuang menghadapi sistem kerja fleksibel yang rawan eksploitasi. Menurut BPS 2024, dari 140 juta angkatan kerja, lebih dari 40 persen bekerja di sektor informal tanpa jaminan sosial yang layak. Mereka menggerakkan kota, membangun jalan, memproduksi pangan, tapi tetap berada di zona rapuh.
Di sisi lain, para guru terutama honorer menghadapi ironi yang tak kalah getir. Data dari Kementerian Pendidikan menunjukkan bahwa hampir separuh guru Indonesia berstatus non-ASN, dengan gaji jauh di bawah standar hidup layak. Mereka berdiri di kelas setiap hari, membentuk karakter anak bangsa, namun nyaris tak bisa memastikan masa depan keluarganya sendiri. Mereka mengajar bukan karena sistem mendukung, tapi karena idealisme yang menolak mati.
Yang lebih menyakitkan, baik buruh maupun guru kini sama-sama didorong ke dalam logika produksi. Buruh dikejar target dan efisiensi. Guru dikejar akreditasi dan laporan digital. Pendidikan berubah menjadi ladang angka. Pekerjaan fisik dan intelektual kini berada dalam tekanan yang sama: produksi sebanyak mungkin dengan biaya seminimal mungkin. Di titik inilah mereka bertemu, dalam keletihan yang disponsori sistem.
Namun meski lelah, mereka belum menyerah. Buruh tetap bekerja. Guru tetap mengajar. Dengan segala keterbatasan, mereka menjaga nyala peradaban. Di tengah ketimpangan, mereka masih percaya bahwa kerja adalah ibadah dan pendidikan adalah cahaya.
Maka kedekatan Hari Buruh dan Hari Pendidikan bukan sekadar hitungan tanggal, melainkan pengingat bahwa tubuh yang bekerja dan pikiran yang mendidik berasal dari akar perjuangan yang sama. Tidak ada pengetahuan tanpa kesejahteraan, dan tak ada kesejahteraan tanpa kesadaran kritis.
Pramoedya Ananta Toer pernah berkata, “Dalam hidup, jangan hanya jadi abu.” Tulisan ini adalah seruan agar kita tak membiarkan perjuangan buruh dan pendidik dikaburkan menjadi abu administratif, terseret arus seremoni yang kehilangan makna.
Buruh dan guru bukan sekadar profesi. Mereka adalah pondasi. Menghormati mereka bukan soal bonus tahunan atau piagam pengabdian. Ini soal keberanian untuk membangun sistem yang berpihak, yang manusiawi, yang adil.
Karena bangsa ini hanya akan benar-benar merdeka ketika buruh tak lagi harus berteriak, dan guru tak lagi harus bertahan sendirian.