15 Mei 2025


Mei bukan sekadar bulan ke lima dalam kalender. Ia adalah lanskap simbolik tempat sejarah Indonesia menumpuk beban dan harapan. Di dalamnya, kita mengenang Hari Buruh, Hari Pendidikan Nasional, Hari Kebangkitan Nasional, dan tentu saja, 21 Mei hari ketika Presiden Soeharto menyatakan mundur setelah tiga dekade berkuasa. Sejak itu, bulan ini menjadi ruang memori dan panggung refleksi, khususnya bagi mahasiswa.

Namun refleksi itu tidak selalu hadir dalam bentuk mendalam. Mahasiswa pascareformasi terutama mereka yang memasuki kampus tahun 2000-an ke atas sering menjumpai Mei sebagai ajang pertunjukan kritis musiman. Seminar-seminar diadakan, diskusi diperbanyak, poster-poster di tembok kampus diperbarui. Suasana akademik mendadak terasa intelektual. Bahkan yang biasanya hanya aktif di grup tugas, kini bicara soal neoliberalisme, oligarki, dan hegemoni.

Fenomena ini menunjukkan adanya semacam romantisme terhadap perjuangan mahasiswa 1998. Seperti dikatakan oleh Ignas Kleden (2004), gerakan mahasiswa sering kali jatuh pada jebakan simbolisme ketika kehilangan pijakan praksis. Yang dipeluk bukan lagi realitas, melainkan imajinasi tentang heroisme masa lalu. Reformasi kemudian menjadi semacam mitos yang dikeramatkan, tapi tidak lagi dianalisis secara kritis.

Dalam konteks ini, kita melihat apa yang disebut oleh Sindhunata (1999) sebagai generasi pascareformasi yang hidup dalam “kebebasan tanpa arah”. Mahasiswa kini memiliki ruang bersuara, tetapi tidak selalu tahu ke mana suara itu harus diarahkan. Kebebasan berbicara menjadi hiasan, bukan alat perubahan. Media sosial mempercepat suara, tapi sering kali memperdangkal isi. Yang penting terlihat aktif, bukan sungguh memahami.

Meski begitu, geliat musiman ini tetap menyimpan potensi. Moeljarto Tjokrowinoto (2007) menulis bahwa kesadaran politik bisa tumbuh dari pendidikan nonformal termasuk diskusi, forum, dan aksi simbolik. Dengan kata lain, meski terkesan permukaan, partisipasi mahasiswa dalam atmosfer Mei bisa menjadi awal dari proses pembelajaran politik yang lebih dalam. Minimal, ia membuka ruang bertanya.

Mahasiswa pascareformasi adalah generasi yang tidak sempat menjatuhkan diktator, tetapi tetap merasa resah melihat arah bangsa. Mereka datang terlambat ke revolusi, tapi menolak menjadi penonton pasif. Bulan Mei memberi mereka panggung meski kecil, meski sementara. Di tengah apatisme sistemik dan komersialisasi pendidikan, keberanian untuk bersuara, betapapun setengah matang, tetap layak dihargai.


---G.A--

Referensi:

Kleden, Ignas. (2004). Masyarakat, Politik, dan Moral. Jakarta: Gramedia.

Moeljarto Tjokrowinoto. (2007). Pembangunan: Paradigma untuk Menggugat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sindhunata. (1999). Reformasi yang Terombang-ambing. Jakarta: Kompas.

Departemen Pendidikan Nasional. (2005). Kajian Reformasi Pendidikan Nasional. Jakarta: Balitbang Depdiknas.