25 Mei 2025

 


Di Bandung Persib bukan sekadar klub sepak bola. Ia adalah medan kultural. Sebuah ruang hidup yang lahir bukan dari ruang rapat elite melainkan dari tanah lapang dari Tegalega dari gang gang sempit dari sekolah sekolah rakyat dari pasar dan pabrik. Ia tumbuh dari jerih payah para pekerja tukang bangunan sopir angkot anak kos dan ibu ibu yang menjual gorengan di pinggir stadion. Persib adalah teks sosial. Dalam kaca mata hermeneutika ia bisa dibaca sebagai narasi rakyat yang berusaha menegaskan eksistensinya di tengah tekanan sistemik. Dan dalam semiotika segala simbol yang mengitari Persib dari warna biru chant tribun hingga spanduk spanduk liar adalah tanda tanda yang sarat makna tentang cinta identitas dan perlawanan.

Ketika Persib juara Liga 1 di bulan Mei 2025 euforia meledak bukan hanya karena piala tetapi karena rasa menang sebagai rakyat. Konvoi di jalan nyanyian di atap mobil bak terbuka dan tangis bahagia di pelukan sesama Bobotoh adalah bentuk ritus kultural. Ini bukan sekadar pesta tapi semacam ledakan simbolik dari rakyat yang selama ini diremehkan oleh pusat kekuasaan sepak bola dan logika industri kapital. Namun kemenangan itu juga menyisakan duka. Seorang Bobotoh meninggal di Flyover Pasupati jatuh dalam perayaan yang tak ditata negara. Dalam perspektif hermeneutik kejadian ini bukan insiden biasa tapi simbol luka ketika cinta rakyat tidak dijaga oleh sistem yang lebih peduli pada tayangan drone untuk konten media ketimbang keselamatan nyata di jalan.

Selain itu Bobotoh tidak pernah lupa pada tragedi Kanjuruhan yang menggores luka mendalam dalam sejarah sepak bola Indonesia. Komunitas Bobotoh terus mengingat dan memperingati peristiwa tersebut sebagai bagian dari penolakan terhadap kekerasan dan ketidakadilan yang dialami oleh suporter. Mereka bukan sekadar penonton pasif melainkan peserta aktif dalam aksi aksi sosial yang menuntut perubahan bukan hanya dalam dunia sepak bola tapi juga dalam konteks keadilan sosial yang lebih luas. Solidaritas mereka meluas menjadi bagian dari gerakan kolektif yang menentang berbagai bentuk penindasan dan diskriminasi.

Sepak bola hari ini dikelilingi oleh kapital. Klub bukan lagi representasi komunitas tapi jadi brand global. Fans jadi pelanggan. Stadion jadi mall raksasa. Tiket naik akses makin eksklusif. Bobotoh yang dulu memenuhi stadion lewat gerakan swadaya kini dihadapkan pada pagar tinggi dan nomor kursi. Dalam konteks ini Persib berdiri sebagai perlawanan. Meski dikungkung logika industri semangat rakyat tetap hadir melalui suara tribun yang lantang dan lewat tanda tanda yang tak bisa dibungkam spanduk spanduk perlawanan.

Spanduk di tribun bukan ornamen. Ia adalah media alternatif rakyat. Ia puisi liar yang tak bisa dibeli. Kalimat kalimat seperti Persib Milik Rakyat Bukan Korporat Sepak Bola Tanpa Rakyat Hanyalah Pertunjukan Kosong dan Harga Tiket Mahal Kami Dipinggirkan adalah manifestasi kesadaran kolektif. Dalam semiotika ini adalah upaya rakyat memberi makna atas ruang yang telah dikomodifikasi. Dalam hermeneutika spanduk ini adalah penafsiran hidup atas penderitaan yang dilupakan. Ironisnya media resmi jarang menyorot spanduk ini. Kamera TV lebih suka menyorot selebrasi pemain dan LED sponsor. Sebab spanduk rakyat terlalu jujur. Terlalu mengganggu narasi profesionalisme yang telah dikawinkan paksa dengan kapital.

Bobotoh tak hanya bicara soal Persib. Mereka juga membawa isu global ke dalam stadion. Dalam berbagai laga spanduk spanduk dukungan terhadap Palestina dibentangkan. Tulisan seperti Free Palestine Show Israel the Red Card dan Save Al Aqsha muncul dari berbagai kawasan seperti Dago Elos Sukajadi hingga Cicalengka. Tribun menjadi ruang artikulasi solidaritas. Ini menunjukkan bahwa Bobotoh membaca penderitaan rakyat lain sebagai bagian dari penderitaan mereka sendiri. Spanduk ini menjadi tanda bahwa kesadaran politik tak mati di tribun. Ia justru hidup tumbuh liar dan bermakna lebih dari seribu unggahan media sosial.

Selama masih ada yang membentangkan spanduk budaya rakyat belum mati. Selama suara chant lebih keras dari suara iklan Persib tetap jadi milik rakyat. Dan selama tribun tetap jadi ruang tafsir yang jujur sistem tak akan bisa menghapus jejak budaya ini. Persib adalah tafsir kita. Tafsir tentang cinta yang tidak bisa dijelaskan angka. Tentang identitas yang tak bisa dibeli. Tentang perlawanan yang tetap hidup meski dibungkam media.

Persib nu aing Kapital teu bisa meuli rasa Tribun nu aing Spanduk teu bisa didikte sistem Cinta nu aing Maung tetap hirup di tengah rakyat