Cinta Itu Kadang Bukan Soal Memiliki, Tapi Soal Merelakan Kamu Bahagia Sama Hidupmu Sendiri"
Cinta itu, ya, ternyata ada macam-macam jenisnya. Salah satunya yang disebut sama filsuf Yunani, Plato, sebagai *cinta platonis*. Nah, cinta ini unik karena nggak ada urusan sama romansa atau “aku milik kamu, kamu milik aku.” Justru cinta platonis ini bicara soal rasa sayang yang bisa ada di antara dua orang tanpa ekspektasi buat ngiket satu sama lain. Dari sana, cinta jadi sesuatu yang nggak selalu minta balasan, tapi justru jadi keinginan buat ngerawat atau nguatin satu sama lain, kayak sahabat yang ngedukung kita.
Kalau masuk ke perspektif eksistensialisme, filsafat yang sering digelutin sama nama-nama kayak Jean-Paul Sartre atau Kierkegaard, kita bakal nemuin ide soal kebebasan dan keotentikan diri dalam cinta. Sartre, misalnya, nulis soal gimana hubungan cinta seringkali membuat kita ingin memiliki satu sama lain. Tapi, di situ letak persoalannya. Ketika kita ingin “memiliki,” kita justru sering ngelupain bahwa tiap individu punya jalan hidup, pilihan, dan mimpi sendiri yang seharusnya dihargai.
Eksistensialisme bilang kalau makna sejati hidup itu bukan diukur dari seberapa banyak hal yang kita miliki, tapi dari kebebasan kita buat menjalani hidup secara autentik. Dalam cinta, artinya, kebahagiaan yang beneran itu bukan waktu kita merasa “punya” seseorang, tapi ketika kita bisa merasakan kebahagiaan ngeliat mereka jadi versi terbaik dari diri mereka. Dari situ kita jadi ngerti kalau cinta itu lebih kaya kalau kita rela buat nggak saling memiliki, karena pada akhirnya, hidup dan keberadaan kita ini milik diri sendiri.
Di sinilah relevansi dari cinta platonis itu. Hubungan yang platonis ini kayak sebuah latihan buat nggak nuntut atau ngelabelin orang jadi “milik kita.” Justru, kita belajar buat mencintai tanpa keinginan buat ngeikat atau ngontrol. Dengan begitu, cinta berubah jadi energi positif yang nggak saling ngerantai, tapi malah jadi ruang buat saling tumbuh.