25 November 2024


Aku berjalan di lorong sekolah yang penuh dengan suara langkah dan canda anak-anak. Di dindingnya terpampang pujian: “Guru, pahlawan tanpa tanda jasa.” Tapi di balik gemerlap penghormatan seremonial Hari Guru Nasional, aku melihat dunia yang absurd. Guru, yang seharusnya menyalakan obor pengetahuan, sering kali terjebak dalam sistem yang memadamkan nyala itu.

Di negeri ini, guru dipuja-puja, tetapi penghormatannya tak lebih d
ari kata-kata kosong. Mereka diharapkan membangun bangsa, namun sering kali diabaikan saat meminta hak-hak paling dasar. Apakah dunia ini benar-benar peduli pada mereka?

Aku berdiri, mencoba memahami absurditas ini. Mengapa ada profesi yang mengajarkan mimpi, tapi dihantui oleh realitas yang mengecewakan? Guru diharapkan membentuk manusia yang kritis, sementara mereka sendiri terkekang oleh birokrasi dan sistem yang membunuh kreativitas. Ini adalah pemberontakan Sisyphus—mendorong batu pendidikan ke puncak, hanya untuk melihatnya terguling lagi oleh politik dan ketidakadilan.

Namun, aku teringat pada Camus. Dalam absurditas, ada ruang untuk kebebasan. Guru yang sejati tidak tunduk pada sistem, tapi memberontak dengan cara mereka sendiri: menanamkan nilai, memantik rasa ingin tahu, dan menulis masa depan melalui generasi muda. Di sinilah aku menulis, sebagai penghormatan kepada mereka yang tak menyerah.

"Scribo, ergo sum!" Aku menulis, maka aku ada—dan melalui tulisan ini, aku mengenang mereka yang membuatku ada. Bu Yayah, yang mengajari aku membaca semasa SD, membuka gerbang pertama ke dunia literasi. Bu Afatmaningsih, yang mengenalkan tentang UUD, menanamkan benih pemahaman tentang hukum dan keadilan. Bu Tati, yang mengajari hafalan Qur'an, mengasah ketajaman hati untuk menangkap pesan Ilahi. Pa Kotari, yang memperkenalkan hukum-hukum alam melalui fisika, menghubungkan aku dengan logika semesta yang tersembunyi. Ki Tatang, yang dengan keteguhan mengajarkan seni merakit diksi menjadi senjata dalam palagan intelektualitas. Bu Sri, yang mengenalkan keindahan sosiologi mengajarkanku tentang kenikmatan memahami masyarakat, individualitas, dan dinamika yang membentuk realitas sosial. Bu Rini, yang menanamkan dialektika sejarah menjaga agar aku tidak hanya melihat dunia di permukaan, tapi menggali lapisan-lapisan perubahan, kontradiksi, dan perjuangan yang membentuk perjalanan umat manusia. Dan teruntuk Bapakku, seorang guru BK, yang setiap hari menuntun siswa-siswi melewati kebingungannya, membuka ruang bagi mereka untuk menemukan dirinya, menyemai harapan dan memberikan arah di tengah keraguan mereka.

Hormatku pada mereka semua, juga pada setiap guru hingga dosen, dari SD sampai bangku universitas. Mereka adalah penjaga api keberadaan kita, pejuang senyap yang membentuk pikiran dan jiwa, bahkan ketika dunia kadang enggan melihat.

Hari Guru Nasional bukan hanya tentang bunga atau pujian, tapi tentang menegaskan kembali makna dari apa yang mereka perjuangkan. Dalam absurditas dunia pendidikan, guru adalah mereka yang memberontak dengan cinta, dengan ilmu, dengan ketulusan.

Seperti Sisyphus, mungkin mereka lelah, tapi di balik lelah itu ada kebahagiaan: melihat anak-anak melangkah ke masa depan dengan mimpi yang mereka bantu tumbuhkan. Dan aku, di bawah langit absurd ini, mengakui: guru adalah penjaga api keberadaan kita. Scribo, ergo sum dan mereka mengajar, maka kita ada.