Subuh yang Syahdu, Magrib yang Jumawa, dan Kenangan yang Patah-patah
Subuh dulu seperti pelukan ibu yang lembut, tapi juga dingin. Udara subuh di kampung selalu punya cara membuat tubuh meremang. Hanya suara ibu dan lantunan ceramah Ustad Aam Amirudin di radio tua yang bisa membelah itu. “Bangun. Salat. Hidup jangan malas,” kata ibu sambil memutar volume sedikit lebih keras, seakan nasihat ustad itu lebih menguatkan perintahnya.
Aku sering pura-pura lupa, padahal cuma malas. Tapi ibu tidak pernah menyerah. Ceramah ustad mengalir membahas sabar atau arti syukur, sementara ibu sibuk di dapur, memasak nasi atau menyiapkan teh hangat. Subuh, ibu, dan suara dakwah itu selalu menang. Aku menyerah dengan langkah gontai ke kamar mandi, setengah hati tapi sepenuhnya pasrah.
Magrib lain cerita. Itu waktu yang selalu datang seperti musuh Ultraman. Besar, gelap, dan penuh ancaman. Langit jingga keungu-unguan seperti pertanda dari dunia lain, dan udara magrib terasa berat seperti momen sebelum pertarungan besar. Anak-anak di lapangan lari-lari sambil tertawa, suara mereka seperti tema pembuka lagu Ultraman—heboh dan penuh energi. Tapi kami semua tahu, ibu adalah Ultraman kami.
Di dalam rumah, ibu menyetel radio MQ. Disela Lantunan Al-Matsurat petang terselip pesan tentang batas antara dunia dan akhirat. “Gunakan magrib untuk mendekatkan diri, bukan menjauh,” seakan langsung menembus dinding tempat aku dan teman-teman bermain.
Lalu muncullah ibu, berdiri di depan rumah dengan tangan di pinggang seperti Ultraman yang siap meluncurkan cahaya laser. “Udah magrib, pulang! Awas kalau nggak!” Tatapan matanya tajam seperti sinar beta Ultraman yang selalu menang lawan raksasa. Tapi kami, musuh kecil yang bandel, selalu mencoba kabur meski tahu hasil akhirnya.
Kadang ibu tidak perlu berteriak. Hanya berdiri di sana sudah cukup untuk menghentikan permainan kami. Magrib dan ibu adalah duet yang tak terkalahkan, seperti Ultraman dan cahaya di dadanya.
Sekarang, subuh dan magrib jadi waktu-waktu yang getir. Waktu yang dulu penuh ibu dan suara dakwah, kini hanya diisi keheningan. Aku mencoba mencari kembali ceramah Ustad Aam di YouTube, mendengarkan suaranya yang masih sama, tapi tidak pernah terasa sama.
Aku rindu ibu. Tapi seperti magrib yang selalu datang dengan wajah berbeda, aku tahu kenangan juga berubah bentuk. Di sela suara hujan sore, di balik lantunan dakwah yang dulu sering aku abaikan, aku mencari ibu. Tapi dia hanya muncul seperti bayangan—sekilas, cukup untuk membuatku sadar bahwa kehilangan adalah bagian dari cerita ini.
Dan malam datang, membawa sunyi yang panjang. Aku tidak menutupnya dengan tangisan, hanya dengan sebuah doa. Lagu terakhir berhenti di lirik: _“I’m still here.”_ Dakwah itu berlanjut di kepalaku, sama seperti ibu yang tak pernah benar-benar pergi. Kenangan itu tidak akan pernah hilang. Mereka hanya berganti bentuk, seperti magrib yang selalu membawa cerita baru.