13 November 2024


Selamat Hari Ayah buat kalian yang kemarin dipuja-puja seolah baru turun dari langit. Di timeline media sosial, banyak orang bikin ucapan, “Ayah, pahlawan kami!” atau “Terima kasih, Ayah, pelindung dan pengayom keluarga.” Tapi tunggu dulu, mari kita lihat realita di balik “panggung” ini. Sebenarnya, perayaan Hari Ayah tuh apa, sih? Apakah memang benar-benar soal apresiasi, atau ini cuma ritual yang diulang tiap tahun untuk ngejaga posisi ayah di singgasana keluarga ala patriarki?


Bayangin skenario klasik: ayah duduk di meja makan, capek setelah kerja, disuguhin kopi, sementara anak-anak dan istri ngerubung seolah dia figur suci yang nggak boleh diganggu. Semua menghormati ayah sebagai “raja rumah,” dengan anggapan bahwa peran utamanya ya cukup: kerja cari duit. Tapi pas giliran soal ngurus anak atau cuci piring? Eh, tiba-tiba si raja ini entah kemana, entah ke “ada rapat mendadak,” “perlu ngurus sesuatu,” atau langsung masuk mode “pura-pura sibuk.” Klise banget nggak sih?


Buat yang nggak tahu, inilah keajaiban patriarki. Ideologi ini membuat ayah—dan secara umum para laki-laki—punya panggung utama dalam rumah tangga, bahkan sering kali tanpa mereka tahu kenapa. Dalam istilah sosiolog Prancis, Pierre Bourdieu, ini disebut *symbolic violence,* alias kekerasan simbolis. Artinya, ada posisi lebih yang diberikan ke sosok laki-laki, terutama ayah, tanpa harus dicapai lewat usaha. Jadi, yaudah, dari lahir, ayah itu diposisikan sebagai “pemimpin,” sementara anggota keluarga lainnya ibarat pemain figuran.

Kalo ngomongin “kepala keluarga,” kita sebenernya lagi ngomongin konstruksi sosial yang udah usang tapi kok ya masih aja bertahan. Menurut Talcott Parsons, salah satu sosiolog besar, keluarga tuh dibagi peran: ayah jadi figur-instrumental yang fokus di urusan praktis kayak ekonomi dan keputusan besar, sementara ibu kebagian peran ekspresif alias urusan emosi dan perasaan. Dari teori ini, seolah-olah ada hukum alam yang bilang, “Oke, ayah harus lebih tegas dan berjarak, ibu harus lembut dan ngemong.”

Sekarang, coba mikir sedikit logis. Emangnya ayah nggak boleh mewek di depan anak-anak? Emangnya ibu nggak boleh jadi kepala keluarga? Kalo kita anggap ini pembagian yang mutlak, artinya setiap orang dipaksa jadi apa yang sebenernya belum tentu mereka inginkan. Padahal banyak lho ayah yang bisa ngemong anaknya dengan sabar, dan banyak ibu yang sebenernya lebih “jagoan” urusan keuangan dibanding ayah. Tapi kenapa ya, tiap Hari Ayah, kita tetap “ngebakuin” pandangan bahwa ayah sebagai satu-satunya pemimpin keluarga?

Hari Ayah, dalam realitanya, jadi momen untuk memperkuat ideologi patriarki. Ini bukan sekadar penghargaan biasa; ini kayak festival simbolik untuk memastikan laki-laki tetap jadi “orang besar” di rumah tangga. Tentu nggak semua ayah kayak gitu, tapi sadar nggak sih, kebanyakan ucapan Hari Ayah selalu menggambarkan ayah sebagai pemimpin tunggal? Di sini jelas ada beban sosial yang besar. Karena dengan diposisikan sebagai pemimpin, ayah otomatis dibebani ekspektasi yang kadang malah bikin hidupnya ribet.

Sebagai contoh, bayangin aja ayah yang sebenernya pendiam dan nggak terlalu tegas, tapi dipaksa-paksa lingkungan buat jadi “yang paling tau segalanya.” Akibatnya, banyak ayah yang ujung-ujungnya merasa perlu “berpura-pura kuat,” bahkan kalau sebenernya dia sama bingungnya soal kehidupan seperti kita semua. Di sinilah masyarakat kita menciptakan standar yang nggak realistis. Kita menghargai ayah bukan sebagai manusia biasa, tapi sebagai simbol ideal yang jauh dari keseharian nyata.

Sebenernya, posisi “pahlawan keluarga” itu capek banget. Banyak ayah yang, di luar sana, pengin juga ikut nemenin anak belajar atau ngurus rumah tangga bareng istri, tapi kadang lingkungan bilang, “Lho, kok laki-laki urusannya begituan?” Atau kalau ada ayah yang lebih suka kerja di rumah, malah disangka nggak produktif, nggak “maskulin.” Sistem patriarki kita tuh ironisnya nggak cuma menekan istri dan anak, tapi juga ayah yang dipaksa-paksa jadi “orang kuat” terus-menerus.

Nah, di zaman sekarang, sudah mulai banyak ayah yang sadar bahwa mereka nggak harus melulu jadi *breadwinner* atau pengambil keputusan tunggal. Banyak juga ayah yang justru merasa lebih nyaman sebagai partner setara, ikut ngurus anak, masak, bahkan nyuci baju, bukan karena terpaksa, tapi karena memang pengen. Tapi anehnya, setiap Hari Ayah, budaya ini masih saja berusaha mengembalikan mereka ke template lama.

Terkadang kita lupa, peran keluarga itu nggak harus selalu saklek kayak zaman kakek-nenek kita. Zaman udah berubah, cara keluarga berjalan juga bisa lebih fleksibel. Kalo Hari Ayah ini kita jadikan momen refleksi, coba pikir: apakah peran “pahlawan keluarga” itu masih relevan? Kenapa nggak mulai pikir bahwa keluarga yang sehat tuh nggak butuh figur pemimpin tunggal, tapi kolaborasi?

Di Hari Ayah ini, mari berhenti sebentar dari perayaan dan mulai pertanyakan lagi: apakah sistem yang kita pakai ini masih cocok? Apakah sosok ayah harus tetap jadi pusat otoritas keluarga, atau lebih baik kita bergerak ke arah keluarga yang lebih egaliter, di mana peran semua anggota diakui dan dihargai?

Jadi, selamat Hari Ayah! Semoga di tahun-tahun ke depan, Hari Ayah nggak cuma jadi ajang glorifikasi satu arah, tapi jadi momen buat kita mempertanyakan apakah “panggung” ini memang benar-benar cocok buat mereka.