23 Juli 2011

Di Negara kita saat ini rasanya ucapan Karl Marx Bahwa agama adalah keluh kesah mahluk tertindas, nurani dunia yang tidak bernurani, nyawa keadaan yang tidak bernyawa, ia adalah candu masyrakat[1] cukup relevan untuk menggambarkan kondisi keberagaaman mayorias masyrakat kita, dan penulis sendiri menafisrkan kata-kata tersebut sebagai sebuah pengingat ketika agama kehilangan sisi universalnya dan hanya mengurusi hal-hal yang semata hanya urusan pribadi dan tidak mampu untuk memberikan jalan altenatif untuk menuju sebuah perubahan sosial politk, memang kekita akhir januari kemari serombongan agamawan dengan lantang membongkar kebohongan penguasa, tapi ya sekali lagi itu semua penulis pandang hanya sebagai pemanis saja, Karena kenyataanya tetap saja tidak memberi kontribusi apapun, apalagi membuka kesadaran penguasa untk tidak lagi membodohi rakyat dengan janji-janji palsu, dalam keyakinan penulis sendiri untuk mencapi jalan revolusi permanen dalam masyrakat maka agama dan politik adalah sesuatu yang tidak bisa dipisahkan.

Maka sudah sewajarnya sikap untuk saling merakit surga sepertiya harus dihentikan, merusak café-café, hobi mengkafirkan, serta berdebat usang tentang semangat plurasisme ditahan dulu barang sebentar, mari bergerak bersama dan keluar dari analisa dan pengamatan, kenyataan harus diubah, agama mempunyai daya gebrak yang tinggi untuk mengatasi kebuntuan itu, karena pada dasarnya tuhan tidak membuat agama sebagi sesuatu yang private, mengurusi transaksi pribadi, tapi tuhan menciptakan agama dengan daya gebrak untuk melawan semua kekuatan sosial yang menindas, kemenangan sebuah ajaan tidak hanya dilihat dari seberap banyak pengikutnya, tapi dari seberap jauh keyakinan tersebut mampuu membebaskan mereka dari yang lemah, karena sekali lagi sebuah masalah sosial tidak bisa diatasi hanya dengan sebuah perdebatan, adu jotos, apalagi adu riset, tapi perlu sebuah kerja kolektif berkelanjuan yang terbebas dari segala kehendak buruk berkuasa serta memandang sebelah mata terhdap kenyataann sejarah,
        Pada awalnya Semua agama muncul dengan dua tujuan fundamental, yaitu; sebagai revolusi teologis, dan sebagai revolusi sosiologis. Revolusi teologis mengandaikan adanya perubahan dasar-dasar kepercayaan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan. Teologi yang seringkali dijadikan sebagai landasan dalam kehidupan bermasyarakat. Sementara revolusi sosiologis adalah upaya pembongkaran terhadap konstruksi sosial, sistem sosial diskriminatif dan patologis yang dilakukan oleh masyarakat, meski kenyataanya dua tujuan tersebut menjadi sebatas utopi ketika agama di komodifikasi untuk kepentingan pribadi,dan pada akhirnya tujuan agama yang mulia seperti disebutkan diatas hanya menjadi sebatas untuk bertoleransi,menyiramkan cinta dan menghentikan kekerasan, agama harusnya tidak dibatasi untuk perkara itu, tapi agama harusnya bisa memberikan gebrakan, ketika himpitan ekonmi pasar dan hegemoni negara menganiya yang miskin dan lemah agama harusnya tidak menjadi candu, yang hanya mewartakan kesabaran dari pengeras-pengeras suara,
kritik keras yang dilontarakan serombongan agamawan januari kemarin, bisa dipandang sebuah bentuk intergrasi antara agama dan politk, meski jika dipandang sebelah mata musti di curigai adakah kepentingan terselubung dibalik kegarangan mereka terhadap penguasa, tapi dibalik semua kecurigaan tadi rasanya semua kritikan itu berangkat dari sisi nurani agamawan yang mungkin sama dengan penulis, lelah menatap kenyataan dipaksa melarat di negeri yang makmur, seperti kata imam al ghazali dalam nasihat al-mulk tugas dari agamawan adalah memberikan nasihat pada penguasa, maka tindakan agamawan tadi bisa dipandang sebagai sebuah terobosan ditengah-tengah agama yang lesu akan gebrakan sosial politik.
Ambiguitas status negara sebagai negara agama atau bukan rasanya perlu segera diluruskan karena ambiguitas seperti itu menjadi jalan perselingkuhan antara agama dan penguasa, sehingga pada akhirnya menimbulkan antipati masyrakat terhadap politik, yang pada akhirnya membuat agama seperti layang-layang, terbang menurut angin yang berhembus.
Tetapi integrasi agama dan politik tersebut seringkali juga menimbulkan masalah karena ketika agamawan terlibat dalam politik sering kali kesucian agama terkotori oleh kehendak buruk keserkahan penguasa, seperti yang terjadi ketika pemilu  kemarin, muncul fatwa lucu golput haram, integrasi agama dan politik merupakan sebuah keharusan menuju revolusi sosial, karena dalam keyakinan penulis perubahan sistematis hanya dapat dicapai melalui sebuah gerakan politik, bukan Cuma melalui pemilihan umum, atau aktivisme basi yang bermodalkan semangat mencari nama, tapi hingga saat ini pada kenyataanya pula belum ada satu kekuatan  yang mampu menyatukan semua perbedaan tadi, malah 13 tahun semenjak reformasi terjadi, banyak gerakan agama dan politik  yang sifatnya ababil, tidak teguh pendiriannya.
Maka dari itu diperlukan sebuah kesadaran bersama untuk memedam ego dalam-dalam menuju sebuah konsensus sehingga gerakan agama tidak lagi direduksi oleh kepentingan politik praktis, dan untuk itulah revolusi teologis dalam pola keberagamaan mutlak dilakukan, karena melihat fakta sejarah juga, gerakan keagaamaan di negara ini menjadi awal tonggak sejarah menuju kebangkitan nasional,
Agama dan politik dalam sebuah lembaga masyrakat  yang menghasilkan nilai-nilai tertentu yang berbeda satu sama lain, disatu sisi diyakini bahwa agama bersumber dari yang kudus dan dijadikan kerangka acuan seluruh realitas (dunia maupun akhriat) sedang Politik berdasarkan nilai-nilai yang dipakai sebagai kerangka acuan untuk memfungsikan tatanan masyrakat dan diaktualisakan dalam konsep kenegaraan, tapi bukan berarti perbedaan tersebut menjadi penghalang integrasi antara agama dalam politk, karena sejatinya dua hal diatas saling berkatian satu sama lainnya,  maka diperlukan sebuah agama yang berdsifat etik-transformatif atau agama yang mampu menyesuaikan diri dengan problem kontemporer, agama etik-transformatif inilah nantinya yang akan menjadi jawaban dari kegersangan dunia politik saat ini yang memang berorientasi keuntungan pribadi semata dan tanpa nurani, serta sebuah keharusan memang agama harus kembali dimainkan sebagai sumber nilai etik-moral kehidupan maysrakat, secara simbolik juga dalam konteks politik agama tidak harus dikukuhkan sebagai jargon ideologi politik, tetapi agama ditransformasikan sebagai benteng moralitas politik bangsa, sehingga agama tidak lagi menjadi sebatas candu, tapi sebuah pendorak menuju pemebebasan sejati.



[1] Introduction to A Contribution to the Critique of Hegel's Philosophy of Right. Karl Marx in Deutsch-Franzosische Jahrbucher, February 1844
          

Sumber Gagasan
Situmorang, Wahib, Abdul,2007.Gerakan Sosial. Yogyakarta.Pustaka Pelajar
Prasetyo, Eko.200.  Islam kiri : melawan kapitalisme modal dari wacana menuju gerakan. Yogyakarta. Insist Press
Murchland.Bernard. Humanisme dan Kapitalisme. Yogyakarta. Tiara Wacana