Ketika Surga Menjadi Sunyi: Membaca Just Like Heaven dan Fatherless di Hari Ayah
Hari Ayah datang seperti bayangan yang lembut namun berat. Di sebagian rumah, tawa dan ucapan terucap ringan; di sebagian lainnya, hanya ada keheningan yang menua bersama ingatan. Tak semua rindu punya alamat, dan tak semua kasih sempat diucapkan. Musik menjadi bahasa paling jujur untuk hal-hal yang gagal kita katakan. Salah satunya melalui lagu Just Like Heaven dari The Cure — sebuah karya yang berbicara tentang cinta, kehilangan, dan kerinduan yang tetap hidup bahkan setelah kehadiran menghilang.
Dalam Just Like Heaven, Robert Smith menulis seolah sedang merayakan cinta. Ritmenya ringan, melodinya berlari, namun di dalamnya bersembunyi getir yang dalam. Surga yang ia sebut bukan tempat abadi, melainkan momen fana yang terasa sempurna sebelum akhirnya menguap. Lirik “I found myself alone above a raging sea” menyingkap paradoks yang menyentuh: di balik kebahagiaan selalu ada potensi kehilangan. Lagu ini, seperti kenangan akan pelukan ayah yang dulu hangat namun kini hanya berupa gema, menjadi simbol betapa segala yang kita sebut surga mungkin hanya sementara. Namun justru di situlah keindahannya bahwa kasih tak harus abadi untuk bisa berarti.
Hari Ayah, dengan segala simbolnya, bukan hanya perayaan atas figur, tapi juga refleksi atas luka dan warisan emosional yang kita bawa dari mereka. Sebab dalam setiap anak yang tumbuh, selalu ada bayangan ayah — entah hadir atau absen, nyata atau hanya berupa nama yang kita bisikkan dalam doa. Cinta seorang ayah sering kali tidak diucapkan dalam kata, melainkan dikerjakan dalam diam: di jam-jam pagi yang dingin, di langkah yang terburu, di kerja yang tak sempat menyaksikan tumbuh anaknya.
Maka bagi mereka yang ayahnya tak sempat mengantar ke sekolah, ingatlah:
“Tak semua ayah sempat mengantar anaknya ke sekolah, tapi setiap langkah anak itu tetap membawa namanya.”