10 November 2025


Bagi anak 90-an, nama Mochtar Kusumaatmadja bukan sekadar barisan huruf di buku IPS yang kertasnya mulai menguning. Di sana, di antara peta Indonesia dan gambar kapal layar, ada satu kalimat yang dulu mungkin kita baca sekilas: “Laut bukan pemisah, tetapi penghubung.”
Waktu itu kita belum paham betapa romantisnya kalimat itu  bukan dalam arti asmara, tapi dalam cara seorang tokoh memandang bangsanya dengan kasih.

Setiap tanggal 10 November, saat bangsa ini memperingati Hari Pahlawan Nasional, kita diajak untuk mengenang bukan hanya mereka yang berjuang dengan bambu runcing, tapi juga mereka yang menyalakan obor lewat pikiran. Mochtar Kusumaatmadja adalah salah satunya. Ia bukan pejuang di medan perang, tapi pahlawan di meja diplomasi  memperjuangkan agar dunia mengakui bahwa Indonesia adalah satu kesatuan, bukan sekumpulan pulau yang kebetulan berdekatan.

Dalam pelajaran IPS, istilah Wawasan Nusantara sering terdengar seperti konsep berat. Tapi kalau dipikir lagi, itu sebenarnya semacam puisi sosial tentang persatuan. Mochtar mengajarkan bahwa laut yang tampak memisahkan kita sesungguhnya adalah tangan yang merangkul semua perbedaan. Bahwa bangsa ini, dari Sabang sampai Merauke, dari ujung pesisir sampai kota-kota yang sibuk, adalah satu keluarga besar yang hidup di antara ombak dan angin tropis.

Kini, ketika kita hidup di zaman serba daring di mana jarak terasa dekat tapi hati kadang terasa jauh gagasan Mochtar terasa makin relevan. Wawasan Nusantara bukan cuma peta politik, tapi juga peta perasaan: mengingatkan kita untuk tidak lupa bahwa Indonesia dibangun oleh kesadaran saling terhubung. Sama seperti dulu laut yang menyatukan para pelaut dan pedagang, sekarang jaringan digital seharusnya menyatukan kita, bukan memisahkan.

Hari Pahlawan tahun ini, mungkin kita tak lagi membawa bunga ke makam, tapi cukup membuka ingatan  pada buku IPS kelas 3 SMP, pada nama Mochtar Kusumaatmadja, dan pada kalimat sederhana yang dulu tak kita sadari artinya.
Bahwa di balik semua pelajaran itu, tersimpan pesan lembut seorang pahlawan:
kita disatukan bukan oleh daratan, tapi oleh rasa.