11 November 2025




 Disiplin itu dipromosikan seperti skincare ajaib yang katanya bisa memperbaiki hidup cuma dengan dipakai rutin. Padahal yang jual omongan itu hidupnya sendiri masih berantakan, target meleset, manajemen waktu amburadul, tapi tetap sok penceramah tentang komitmen dan produktivitas.

Orang-orang mengangkat disiplin setinggi langit, seakan itu malaikat penjaga karier. Padahal aslinya ya cuma suara alarm yang berisiknya minta ditampar. Dia datang pagi-pagi buta, bergaya seperti konsultan manajemen, padahal kalau disiplin itu manusia, dia pasti tipe rekan kerja yang kontribusinya minim tapi paling rajin ngasih feedback.

Yang lucu, yang paling getol ngomong soal disiplin biasanya justru yang moral deadline-nya paling goyah. Begitu telat kirim laporan, mereka nyalain rapat, jaringan, cuaca, dan sejarah bangsa, pokoknya semua kecuali diri sendiri. Produktif sekali dalam urusan alasan.

Disiplin itu juga tidak pernah sensitif terhadap kondisi manusia. Kamu capek, pusing, patah hati, atau ingin hilang dari peradaban, dia tidak peduli. Dia cuma berdiri dengan wajah datar dan bilang kerja terus, gerak terus, evaluasi terus. Andai dia makhluk hidup, sudah lama dia dilaporkan ke HR karena toxic.

Tetap saja, meski cara kerjanya menyebalkan, kita butuh dia. Tanpa disiplin, hidup bakal mirip data penting yang tidak pernah di backup: rusak sedikit langsung hancur total. Kita tidak perlu menyukainya, cukup tunduk sedikit agar hidup tidak berubah jadi tumpukan keputusan keliru.

Akhirnya disiplin itu bukan mentor bijaksana. Dia satpam masa depan yang cerewet dan sinis. Tapi dia satu-satunya yang berani ngomong terang-terangan bahwa kalau kita terus menggampangkan hidup, masa depan cuma akan jadi laporan kerusakan, bukan rencana yang bisa dibanggakan.