Banalitas Senja: Tarian Abadi di Pelataran Aqidah"
Meski pada waktunya semua akan uzur,
kuingin setiap hariku sore '2012 di pelataran teras aqidah filsafat.
Di sana, aku berdansa dengan Tuhan dalam sunyi,
berdebat dengan angin yang tak pernah mengerti.
Senja melukis bayangan, menggantung di udara,
segala yang fana bercampur dalam banalitas rasa.
Malam merayap, waktu tak lagi nyata,
dalam keheningan, hanya tarian kita yang tersisa.
Di tengah kefanaan yang banal, aku tahu segalanya sia-sia,
tapi di pelataran teras itu, kita abadi dalam ketidakterbatasan waktu.
Dengan langkah-langkah yang melingkar, aku peluk Amor Fati,
menerima segala yang datang, dengan penuh suka cita dan luka yang tersembunyi.
Tak ada yang lebih indah dari menerima takdir,
menerima hidup dengan segala keabsurdannya, tanpa harus mengerti.
Dalam tarian yang abadi ini, aku berserah,
di bawah langit yang terus berubah, meski segala yang fana merapuh.
Amor Fati, cinta pada takdir, cinta pada yang tak terelakkan,
seperti angin yang berbisik, dan senja yang memudar di pelataran.
Kita, dalam kefanaan ini, tetap berdansa,
merayakan setiap detik yang diberikan, setiap momen yang terlewat.
Dengan hati yang penuh, dan jiwa yang menganga,
aku dan Tuhan, dalam sunyi, berdansa dalam ketidakterbatasan waktu.