Angka Putus Sekolah dan Budaya Literasi: Perspektif dari "Bumi Manusia" Karya Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta Toer, seorang sastrawan terkemuka Indonesia, melalui karyanya "Bumi Manusia" menyuguhkan gambaran yang mendalam mengenai ketidakadilan sosial dan pentingnya pendidikan serta literasi sebagai alat untuk melawan penindasan. Novel ini tidak hanya bercerita tentang kehidupan di masa kolonial, tetapi juga mengangkat tema-tema yang masih relevan hingga saat ini, terutama dalam konteks pendidikan dan literasi di Indonesia.
Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), angka putus sekolah di Indonesia masih cukup tinggi, khususnya di kalangan keluarga yang kurang mampu. Banyak anak-anak yang harus meninggalkan bangku sekolah karena berbagai faktor, termasuk kemiskinan, kurangnya akses ke fasilitas pendidikan, dan tekanan untuk membantu perekonomian keluarga. Di daerah terpencil, kondisi ini semakin diperparah oleh infrastruktur yang tidak memadai dan keterbatasan jumlah sekolah.
Anak-anak yang putus sekolah ini sering kali harus bekerja pada usia yang sangat muda untuk membantu memenuhi kebutuhan keluarga mereka. Hal ini menciptakan lingkaran setan kemiskinan di mana anak-anak yang tidak mendapatkan pendidikan yang memadai akan memiliki peluang yang lebih rendah untuk meningkatkan taraf hidup mereka di masa depan. Kondisi ini sangat bertentangan dengan semangat yang diusung oleh Pramoedya dalam "Bumi Manusia," di mana pendidikan dianggap sebagai alat pembebasan dan pencerahan.
Budaya literasi merupakan aspek lain yang sangat penting dan banyak dibahas dalam karya Pramoedya. Literasi, dalam pandangan Pramoedya, bukan hanya kemampuan dasar membaca dan menulis, tetapi juga mencakup kemampuan berpikir kritis, memahami informasi, dan menggunakannya untuk mengembangkan diri serta memperjuangkan keadilan. Dalam "Bumi Manusia," karakter Minke menunjukkan bagaimana literasi dapat menjadi alat yang kuat untuk melawan ketidakadilan dan penindasan.
Namun, di Indonesia, tingkat literasi masih memerlukan banyak perhatian. Meskipun tingkat melek huruf dasar telah meningkat, literasi fungsional dan digital masih menjadi tantangan besar. Literasi digital, khususnya, menjadi sangat penting di era informasi saat ini. Sayangnya, banyak anak Indonesia yang tertinggal dalam hal ini karena kurangnya akses ke teknologi dan pendidikan yang memadai. Data UNESCO menunjukkan bahwa kesenjangan dalam akses literasi ini masih menjadi masalah yang perlu segera diatasi.
Karya Pramoedya Ananta Toer sangat relevan dalam konteks modern Indonesia. Melalui perjuangan Minke, Pramoedya menunjukkan bagaimana pendidikan dan literasi dapat menjadi alat yang kuat untuk melawan ketidakadilan dan memperjuangkan hak-hak individu. Kisah Minke mencerminkan kondisi nyata di Indonesia saat ini, di mana banyak anak masih berjuang untuk mendapatkan pendidikan yang layak di tengah berbagai hambatan sosial dan ekonomi.
Untuk mengatasi masalah angka putus sekolah dan rendahnya tingkat literasi, diperlukan upaya kolektif dari berbagai pihak. Pemerintah perlu melakukan reformasi sistem pendidikan dan memastikan bahwa semua anak, terutama di daerah terpencil, memiliki akses yang sama ke pendidikan berkualitas. Selain itu, program literasi yang inklusif harus ditingkatkan untuk memastikan bahwa semua anak dapat mengembangkan keterampilan literasi yang diperlukan untuk sukses di era digital.
Masalah angka putus sekolah dan rendahnya budaya literasi merupakan tantangan besar yang dihadapi Indonesia saat ini. Melalui perspektif yang disajikan dalam "Bumi Manusia," kita dapat memahami pentingnya pendidikan dan literasi dalam membangun masyarakat yang adil dan sejahtera. Upaya peningkatan akses pendidikan dan literasi harus menjadi prioritas untuk mencapai cita-cita tersebut.
Daftar Pustaka
- Toer, Pramoedya Ananta. *Bumi Manusia*. Jakarta: Hasta Mitra, 1980.
- Dewantara, Ki Hadjar. *Pendidikan yang Memerdekakan*. Yogyakarta: Taman Siswa, 1935.
- Freire, Paulo. *Pedagogy of the Oppressed*. New York: Herder and Herder, 1970.
- Badan Pusat Statistik (BPS). *Statistik Pendidikan 2020*. Jakarta: BPS, 2020.
- UNESCO. *Literacy Rates Continue to Rise from One Generation to the Next*. Paris: UNESCO, 2017.