Rancaekek di Sudut Jalan Globalisasi: Antara Kemajuan dan Ironi
Globalisasi, dalam segala kemegahannya, telah tiba di Rancaekek, sebuah daerah di Kabupaten Bandung yang dulunya identik dengan hamparan sawah hijau dan kehidupan agraris yang damai. Seperti tamu yang tidak diundang, globalisasi datang membawa janji kemajuan, tetapi siapa sangka justru memunculkan berbagai ironi yang menggelitik. Seperti kata Pramoedya Ananta Toer, "Kemajuan tanpa nilai-nilai manusiawi hanya akan membawa kehancuran."
Perhatikan, di antara lahan pertanian yang semakin sempit, berdiri megah pabrik-pabrik tekstil besar seperti PT Kahatex dan PT Asia Agung, serta perumahan-perumahan baru yang menggantikan sawah hijau yang dahulu membentang luas. Ironisnya, penduduk setempat yang dulunya hidup dari bertani kini beralih menjadi buruh pabrik dengan upah yang minim dan kondisi kerja yang jauh dari layak. Menurut survei Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), para pekerja di pabrik tersebut rata-rata bekerja 12 jam sehari dengan upah di bawah UMR. Pramoedya Ananta Toer pernah menulis, "Dalam hidup yang fana ini, manusia harus bekerja sampai dia tidak lagi mampu bekerja," sebuah kutipan yang tampaknya sangat relevan di sini.
Namun, industri yang menjanjikan lapangan kerja ini juga membawa bencana lingkungan. Limbah pabrik-pabrik tersebut mengalir ke Sungai Citarum, menyebabkan pencemaran air yang mengkhawatirkan. Laporan WALHI pada 2017 mencatat penurunan drastis kualitas air yang berdampak negatif pada pertanian lokal. Desa-desa seperti Linggar dan Sukamulya melaporkan penurunan drastis dalam kualitas air, yang berdampak negatif pada pertanian lokal. Para petani kehilangan mata pencaharian mereka dan terpaksa menjadi buruh pabrik. Sebuah ironi di mana kemajuan justru membawa kemunduran. Seperti Pramoedya katakan, "Lupa adalah dosa, dan kebodohan adalah kematian."
Globalisasi juga mengubah wajah sosial dan budaya Rancaekek. Tradisi gotong royong yang menjadi tulang punggung kehidupan desa mulai memudar. Sebuah studi oleh Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat dalam kegiatan adat seperti upacara Seren Taun menurun hingga 40% dalam dua dekade terakhir. Di tengah perubahan ini, anak-anak yang dulu bermain di sawah kini sibuk dengan gawai di tangan mereka, berinteraksi lebih banyak di dunia maya daripada di dunia nyata. Pramoedya pernah berujar, "Setiap perubahan besar selalu dimulai dengan hal-hal kecil."
Musik pop internasional dan gaya hidup modern semakin mendominasi. Survei dari Pusat Kajian Budaya dan Perubahan Sosial Universitas Indonesia menemukan bahwa 65% remaja di Rancaekek lebih sering mendengarkan musik K-pop dan mengikuti tren fashion Korea dibandingkan dengan budaya lokal. Dalam sebuah wawancara, seorang remaja dengan bangga mengaku, "Saya lebih suka musik Korea, lebih keren dan modern." Sementara itu, musik tradisional Sunda mulai tergeser, menjadi sekadar latar belakang di acara-acara tertentu, tidak lagi menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari. "Budaya adalah jiwa bangsa," tegas Pramoedya.
Toko-toko ritel modern dan pusat perbelanjaan mulai menjamur, menggantikan pasar-pasar tradisional. Para pedagang kecil harus bersaing dengan ritel besar yang menawarkan harga lebih murah. Laporan dari Asosiasi Pedagang Pasar Tradisional Indonesia (APPI) pada 2019 menunjukkan penurunan jumlah pedagang pasar tradisional hingga 30% dalam lima tahun terakhir. Hal ini mengancam kelangsungan hidup mereka yang bergantung pada perdagangan kecil-kecilan untuk menyambung hidup. Pramoedya mengingatkan, "Ekonomi yang tidak manusiawi adalah ekonomi yang menghancurkan manusia."
Namun, di tengah gempuran globalisasi, masih ada secercah harapan. Misalnya, sejumlah warga Rancaekek yang peduli terhadap lingkungan membentuk komunitas "Koalisi Melawan Limbah" untuk menjaga kelestarian alam sekitar. Mereka aktif melakukan kampanye penghijauan, pembersihan sungai, dan pengelolaan sampah yang berkelanjutan. Dengan semangat kolektif, mereka berupaya menjaga keseimbangan ekologis agar lingkungan hidup tetap sehat dan berkelanjutan bagi generasi mendatang. Seperti dikatakan Pramoedya Ananta Toer, "Berbuatlah adil sejak dalam pikiran, janganlah berharap keadilan akan datang dari orang lain." Upaya ini tidak hanya sebagai aksi nyata, tetapi juga sebagai bagian dari perlawanan terhadap ketidakpedulian terhadap lingkungan, memastikan bahwa Rancaekek memiliki masa depan yang lestari dan berkualitas.
Globalisasi di Rancaekek menjadi cermin yang memantulkan dua wajah: kemajuan dan ironi. Dalam perspektif sosiologis, fenomena ini menunjukkan betapa kompleksnya interaksi antara globalisasi dan budaya lokal. Kemajuan ekonomi dan modernisasi hadir bersamaan dengan tantangan-tantangan baru yang harus dihadapi dengan bijak dan kritis. Rancaekek, dengan segala keunikannya, menjadi saksi bisu dari paradoks globalisasi yang terus berlangsung, di mana harapan dan keputusasaan berkelindan dalam kehidupan sehari-hari. Seperti Pramoedya Ananta Toer mengingatkan kita, "Harapan ada selama manusia berani bermimpi dan bertindak."
#AULIA
Referensi
- ELSAM. (2018). Survei Kondisi Kerja Pekerja Tekstil di Rancaekek.
- WALHI. (2017). Laporan Pencemaran Sungai Citarum.
- Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung. (2020). Studi Partisipasi Masyarakat dalam Kegiatan Adat.
- Pusat Kajian Budaya dan Perubahan Sosial Universitas Indonesia. (2019). Survei Pengaruh Budaya Pop Internasional di Rancaekek.
- Asosiasi Pedagang Pasar Tradisional Indonesia (APPI). (2019). Laporan Penurunan Jumlah Pedagang Pasar Tradisional.
- Toer, Pramoedya Ananta. (1980). *Bumi Manusia*. Jakarta: Hasta Mitra.