20 Mei 2024



Dialog Imaginatif Soe Hok Gie dan Sutan Sjahrir tentang Hari Kebangkitan Nasional


Di suatu sore yang tenang di alam abadi, Soe Hok Gie dan Sutan Sjahrir duduk di tepi sebuah danau yang jernih. Mereka memandang ke arah bumi Indonesia yang tengah merayakan Hari Kebangkitan Nasional dengan segala gegap gempitanya. Dalam suasana santai namun penuh makna, mereka memulai percakapan penuh canda dan tawa tentang makna hari tersebut.


**Sjahrir**: (tersenyum) "Gie, lihatlah di bawah sana. Mereka merayakan Hari Kebangkitan Nasional dengan gegap gempita. Upacara megah, pidato yang panjang, dan pawai penuh warna. Tapi, apakah ini benar-benar kebangkitan, atau sekadar ritual tahunan yang meriah?"


**Gie**: (tertawa kecil) "Ah, Bung Sjahrir, kebangkitan mereka mungkin hanya sampai di level seremonial. Seperti gunung es, puncaknya terlihat megah tapi dasarnya tenggelam dalam lautan masalah. Apakah rakyatnya bangkit, atau hanya pejabatnya yang bangun dari tidur siangnya?"


**Sjahrir**: "Benar sekali, Gie. Kebangkitan ini sering kali lebih mirip dengan lelucon. Jalan-jalan yang berlubang, gedung sekolah yang rusak, birokrasi yang seperti labirin. Luar biasa, kebangkitan birokrasi kita lebih cepat daripada kebangkitan nasional."



**Gie**: (sambil tersenyum lebar) "Bung, jangan lupa, mereka bicara soal pendidikan sambil membiarkan gedung sekolah yang bocor dan murid-murid yang belajar di bawah pohon. Ini kebangkitan atau pertunjukan komedi?"


**Sjahrir**: (tertawa) "Ah, Gie, kita dulu berjuang melawan penjajah dengan semangat yang menyala. Sekarang, mereka berjuang melawan korupsi yang seperti kecoa, dipukul satu muncul seribu. Kebangkitan ini seperti mimpi yang terus diulang tanpa akhir."


**Gie**: "Ya, Bung, dan kemacetan lalu lintas itu benar-benar fenomenal. Kebangkitan semangat nasionalisme sering kali terjebak di jalanan yang macet. Mungkin kita perlu merayakan Hari Kebangkitan Transportasi Nasional."


**Sjahrir**: (terbahak) "Setuju, Gie. Kebangkitan ini perlu diperluas definisinya. Jangan hanya bangkit dalam seremoni, tapi juga bangkit dari semua masalah yang membuat kita terpuruk. Dan jangan lupa, bangkit dari kemalasan!"


**Gie**: "Nah, itu dia. Kita harus bangkit dari kemalasan berpikir. Selama ini, kita terlalu banyak tidur dalam kenyamanan, lupa bahwa perjuangan masih panjang. Setiap peringatan Hari Kebangkitan Nasional, seharusnya ada sesi bangun-bangun, bukan hanya upacara."


**Sjahrir**: "Betul, Gie. Mari kita buat catatan untuk mereka. Jangan sampai kebangkitan ini hanya jadi acara tahunan yang meriah, tapi tidak ada perubahan nyata. Kebangkitan sejati adalah ketika rakyat benar-benar merasakan manfaatnya."


**Gie**: "Setuju, Bung. Tapi, bagaimana dengan para pejabat yang sepertinya sudah terbiasa tidur nyenyak dalam jabatan? Mereka mungkin butuh alarm yang lebih keras daripada sentilan kita."


**Sjahrir**: (tertawa) "Mungkin kita perlu kirim mimpi yang lebih realistis. Mimpi di mana mereka harus jalan kaki ke kantor melewati jalan berlubang dan menghadapi kemacetan. Atau mimpi di mana mereka harus mengurus surat-surat sendiri, tanpa bantuan staf khusus. Pasti mereka akan bangun dengan keringat dingin dan semangat baru untuk memperbaiki birokrasi."


**Gie**: "Itu ide bagus, Bung. Tapi jangan lupa, kita juga harus memberikan mereka mimpi tentang harapan. Harapan bahwa kebangkitan ini bisa menjadi nyata jika mereka benar-benar bekerja untuk rakyat, bukan untuk kepentingan sendiri."


**Sjahrir**: "Benar sekali. Kebangkitan sejati adalah ketika seluruh elemen bangsa bergerak bersama. Pejabat, rakyat, guru, petani, semuanya harus bangkit dari ketidakpedulian dan kemalasan. Itu baru kebangkitan nasional yang sebenarnya."


Mereka berdua tertawa bersama, menikmati suasana damai sambil terus mengamati bumi dari kejauhan. Percakapan mereka, walau penuh canda, sarat dengan pesan penting: kebangkitan nasional harus lebih dari sekadar perayaan, melainkan sebuah gerakan nyata menuju perubahan yang lebih baik bagi seluruh rakyat Indonesia.


---


**Puisi: Kebangkitan dalam Mimpi**


Di tengah pawai dan pidato yang gemilang,  

Kita rayakan kebangkitan, penuh semangat membara,  

Namun, di balik sorak dan tawa yang riang,  

Ada tanya, benarkah kita telah bangkit dari sengsara?


Jalan berlubang, gedung sekolah yang rapuh,  

Rakyat antre berjam-jam, mimpi kesejahteraan tak kunjung tiba,  

Korupsi menjalar, seperti kecoa yang tak runtuh,  

Apakah kebangkitan hanya ilusi di balik upacara dan pidato yang tiba-tiba?


Gie dan Sjahrir, dalam canda penuh makna,  

Mengajak kita merenung, bangkit bukan sekadar ritual tahunan,  

Bangkit dari kemalasan, dari ketidakpedulian yang membahana,  

Membangun bangsa dengan kerja nyata, bukan hanya janji di depan.


Bangkitlah, wahai pejabat yang tidur nyenyak,  

Rasakan getir rakyat, jalan kaki melewati jalan berlubang,  

Bangkitlah, wahai rakyat yang terpuruk dalam sesak,  

Jangan hanya jadi penonton, mari kita bersama berjuang.


Hari Kebangkitan Nasional, bukan sekadar tanggal di kalender,  

Ini adalah panggilan untuk kita semua,  

Bangkit dari mimpi, wujudkan harapan dalam tiap langkah,  

Mari berjuang, hingga kebangkitan sejati nyata di nusantara.