19 Mei 2024

Dalam era yang sarat dengan berbagai kontradiksi, salah satu yang paling mencolok adalah bagaimana biaya pendidikan tinggi di Indonesia, yang dikenal dengan Uang Kuliah Tunggal (UKT), menggambarkan sebuah paradoks eksistensialis. Biaya ini seakan menjadi "penentu takdir" bagi para mahasiswa, menggiring mereka ke dalam absurditas kehidupan kampus.



Jean-Paul Sartre, seorang filsuf eksistensialis, pernah berkata, "L'enfer, c'est les autres" – Neraka adalah orang lain. Dalam konteks Uang Kuliah Tunggal, "orang lain" ini bisa dimaknai sebagai sistem birokrasi pendidikan yang seakan-akan bermain sebagai dewa penentu nasib mahasiswa. Bayangkan seorang mahasiswa yang penuh semangat, bercita-cita menggapai pendidikan tinggi sebagai cara untuk mencapai otentisitas dan eksistensi sejati. Namun, ia mendapati dirinya terjerembab dalam kebijakan Uang Kuliah Tunggal yang membatasi aksesnya berdasarkan kemampuan finansial semata.


Martin Heidegger dalam karyanya *Being and Time* menekankan konsep "dasein" atau "being-there". Mahasiswa dalam konteks Uang Kuliah Tunggal dipaksa untuk selalu "being-there" dalam kecemasan akan masa depan mereka. Bayangkan absurditas ini: seorang mahasiswa yang ingin mencari makna dan eksistensinya melalui pendidikan justru harus bergelut dengan kecemasan akan kemampuan membayar Uang Kuliah Tunggal yang mencekik. Seperti yang Heidegger katakan, "Kecemasan memaksa kita untuk merenungkan ketidakpastian dari eksistensi kita." Maka, Uang Kuliah Tunggal bukan hanya angka; ia adalah sumber kecemasan eksistensial.


Dalam novel-novel Franz Kafka, kita sering menemukan tokoh-tokoh yang terjebak dalam sistem birokrasi absurd yang tidak pernah bisa mereka pahami atau kendalikan. Sama halnya dengan mahasiswa yang berhadapan dengan sistem Uang Kuliah Tunggal. Proses penentuan dan penyesuaian Uang Kuliah Tunggal seringkali tampak seperti sebuah labirin birokrasi Kafkaesque: surat menyurat tanpa akhir, antrian panjang, dan keputusan-keputusan sewenang-wenang yang muncul dari kantor administrasi yang tak berwajah. Sebagaimana K. dalam *The Trial*, mahasiswa berjuang melawan sistem yang tampak tak tertembus, dengan sedikit atau tanpa harapan untuk menang.


Jean-Paul Sartre mengemukakan bahwa manusia dikutuk untuk bebas. Dalam kasus Uang Kuliah Tunggal, kebebasan mahasiswa untuk memilih dan menjalani hidupnya secara otentik seolah terenggut oleh biaya pendidikan yang tinggi. Mereka dikutuk untuk bebas memilih—antara melanjutkan pendidikan dengan beban utang yang melilit atau meninggalkan cita-cita akademik mereka demi realitas finansial yang lebih terjangkau. Kebebasan semacam ini, tentu saja, adalah sebuah satir kelam dari makna kebebasan yang sebenarnya.


Maka, Uang Kuliah Tunggal dalam perspektif eksistensialis adalah cermin dari absurditas kehidupan itu sendiri—sebuah permainan ironi di mana pencarian makna dan eksistensi terjerat dalam belitan angka dan birokrasi. Dalam dunia yang tampaknya didesain untuk menciptakan manusia-manusia yang tercerahkan dan merdeka, Uang Kuliah Tunggal muncul sebagai paradoks eksistensialis: sebuah pengingat bahwa seringkali, dalam perjuangan mencari makna hidup, kita terjebak dalam sistem yang justru menegasikan kemanusiaan kita.


Sebagaimana Albert Camus berkata, "The only way to deal with an unfree world is to become so absolutely free that your very existence is an act of rebellion." Dalam konteks Uang Kuliah Tunggal, mungkin satu-satunya cara untuk menghadapi dunia pendidikan yang tidak bebas ini adalah dengan memperjuangkan kebebasan dan keadilan dalam akses pendidikan—sebuah tindakan pemberontakan eksistensial yang sesungguhnya.