17 Mei 2024

Jumlah Sekolah Menengah Atas (SMA) negeri yang terbatas di Kabupaten Bandung menimbulkan sejumlah masalah, terutama terkait dengan angka putus sekolah pada jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP). Fenomena ini dapat dianalisis secara sosiologis dengan menyoroti faktor-faktor seperti aksesibilitas pendidikan, persepsi masyarakat terhadap pendidikan, dan dampak ekonomi terhadap keluarga.


Pertumbuhan unit SMA negeri yang sedikit mengakibatkan keterbatasan akses pendidikan bagi lulusan SMP. Banyak siswa yang tidak bisa melanjutkan ke jenjang SMA karena jarak sekolah yang jauh atau terbatasnya daya tampung sekolah-sekolah yang ada. Hal ini sejalan dengan pandangan Bourdieu tentang modal sosial, di mana akses terhadap pendidikan sering kali ditentukan oleh ketersediaan institusi pendidikan yang memadai. Nelson Mandela pernah mengatakan, “Pendidikan adalah hak asasi manusia dan sarana utama bagi masyarakat untuk mencapai kesejahteraan ekonomi dan sosial.” Ketika fasilitas pendidikan terbatas, siswa dari keluarga berpenghasilan rendah yang tidak memiliki sumber daya untuk mendukung pendidikan lanjutan sering kali terpaksa berhenti sekolah. Ini menciptakan lingkaran setan kemiskinan yang sulit diputus.





Keterbatasan SMA negeri juga mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap pentingnya melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Ketika kesempatan untuk melanjutkan pendidikan semakin sulit, motivasi siswa dan keluarga untuk berjuang mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi menurun. Masyarakat mungkin melihat pendidikan lanjutan sebagai sesuatu yang tidak realistis atau tidak terjangkau, sehingga menurunkan aspirasi pendidikan.


Kurangnya SMA negeri di Kabupaten Bandung juga memiliki dampak ekonomi yang signifikan. Keluarga harus mengeluarkan biaya lebih untuk transportasi atau bahkan pindah tempat tinggal agar anak-anak mereka dapat bersekolah di SMA negeri yang lebih jauh. Bagi banyak keluarga berpenghasilan rendah, biaya ini tidak dapat diatasi, sehingga mereka memilih untuk menghentikan pendidikan anak-anak mereka setelah SMP. Ban Ki-moon pernah mengatakan, “Kemiskinan adalah alasan paling mendasar mengapa anak-anak tidak bersekolah.” Keterbatasan akses ke SMA negeri memaksa banyak anak-anak untuk memasuki dunia kerja lebih awal, sering kali dalam kondisi kerja yang tidak menguntungkan. Ini tidak hanya mempengaruhi masa depan individu tersebut tetapi juga menghambat perkembangan sosial dan ekonomi masyarakat secara keseluruhan.


Pertumbuhan unit SMA negeri yang sedikit di Kabupaten Bandung memiliki dampak sosiologis yang signifikan terhadap angka putus sekolah pada jenjang SMP. Keterbatasan akses pendidikan, persepsi masyarakat terhadap pendidikan, dan tekanan ekonomi pada keluarga adalah faktor-faktor utama yang mempengaruhi keputusan siswa untuk melanjutkan pendidikan atau berhenti setelah SMP. Untuk mengatasi masalah ini, perlu adanya kebijakan yang fokus pada peningkatan jumlah dan distribusi SMA negeri yang merata, serta dukungan ekonomi bagi keluarga berpenghasilan rendah agar anak-anak mereka dapat melanjutkan pendidikan tanpa hambatan finansial. Dengan mengatasi masalah ini, diharapkan angka putus sekolah pada jenjang SMP dapat berkurang dan kesempatan bagi setiap anak untuk meraih pendidikan yang lebih tinggi dan masa depan yang lebih baik dapat terwujud.