18 Oktober 2025


Mungkin memang benar, semua laki-laki sama. Mereka lahir dari rahim yang berbeda, tapi tumbuh di bawah bayang sistem yang sama, patriarki yang menyanjung ketegasan dan memusuhi keraguan. Sejak kecil mereka diajarkan untuk menahan tangis, menekan rasa, dan menyimpan diam di balik dada yang dipaksa tampak kuat.

Aku sering berpikir, seperti yang ditulis Soe Hok Gie dalam catatan hariannya, bahwa manusia kehilangan kejujuran karena takut menjadi berbeda. Laki-laki pun demikian. Mereka menyeragamkan diri demi diterima, bukan karena ingin benar-benar menjadi dirinya sendiri. Dalam dunia yang terlalu ramai oleh simbol kejantanan, menjadi reflektif dianggap ganjil, menjadi lembut dianggap kalah.

Ahmad Wahib pernah menulis bahwa manusia beriman bukan yang berhenti bertanya, tapi yang terus mempertanyakan Tuhan agar imannya tidak membatu. Aku rasa begitu pula laki-laki terhadap dirinya. Menjadi laki-laki yang utuh bukanlah soal memiliki otot atau status, tapi berani bertanya siapa aku di tengah sistem ini, dan apa yang telah kulakukan terhadap diriku sendiri.

Namun tidak semua laki-laki menikmati filsafat. Tidak semua sanggup menanggung rasa sepi yang datang saat berpikir. Filsafat menelanjangi ketakutan terdalam, membuka luka yang selama ini ditutup oleh gengsi sosial. Banyak laki-laki yang berhenti di pinggir jalan kesadaran, menutup diri di balik tawa dan karier, karena berpikir terlalu dalam bisa membuat mereka kehilangan pegangan, kehilangan citra, kehilangan tempat berpijak.

Padahal mungkin di situlah kemanusiaan bermula. Saat seseorang mulai berani merasa asing terhadap dirinya sendiri. Ketika seorang laki-laki berhenti menjadi produk sosial dan mulai menjadi subjek yang sadar. Sosiologi mengajarkan bahwa identitas bukanlah pemberian, melainkan hasil negosiasi yang terus-menerus dengan dunia sosial. Maka laki-laki yang mau menikmati filsafat adalah mereka yang berani menegosiasikan kembali siapa dirinya, di luar apa yang diharapkan masyarakat darinya.

Soe Hok Gie pernah menulis, lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan. Dan aku kira, laki-laki yang berani berpikir, yang berani menolak seragam peran sosialnya, memang sedang menyiapkan diri untuk diasingkan. Tapi justru dalam keterasingan itu, lahir kemerdekaan yang paling sejati, kesadaran bahwa menjadi manusia lebih penting daripada menjadi laki-laki yang ideal di mata masyarakat.

Catatan 18 Oktober. Malam ini aku berpikir tentang bagaimana kesunyian kadang lebih jujur dari keramaian. Tentang laki-laki yang sibuk membangun citra, tapi lupa menatap dirinya sendiri. Mungkin benar, semua laki-laki sama, tapi hanya sedikit yang berani berjalan di lorong sunyi kesadaran, menikmati filsafat, dan berdamai dengan ketakutan yang selama ini disembunyikan oleh kejantanan.