Jatinangor Tempat Cinta Dosa dan Skripsi Berbaris Rapi
Jatinangor itu bukan sekadar nama daerah ia adalah semacam “universitas kehidupan” buat ribuan anak rantau yang datang dengan koper, tas ransel, dan mimpi yang masih mulus kayak baju wisuda yang belum dipakai. Semua datang dengan harapan tinggi, lalu pelan-pelan dibenturkan dengan realita: angkot ngetem, kosan bocor, dan tugas kuliah yang jumlahnya lebih banyak dari isi dompet.
Di minggu pertama kuliah, semua masih wangi-wangi. Mahasiswa baru jalan ke kampus pakai kemeja rapi, rambut klimis, senyum penuh semangat. Tapi dua bulan kemudian, kemeja berubah jadi hoodie belel, sepatu putih jadi abu-abu, dan wajah penuh kantung mata. Di sinilah Jatinangor mulai menunjukkan wataknya: kota kecil yang akan menguji siapa yang beneran niat kuliah dan siapa yang cuma numpang ngekos.
Perjuangan mahasiswa di sini kadang nggak kelihatan. Mereka belajar di kamar sempit yang cuma muat kasur busa tipis dan galon air, masak mie rebus jam dua pagi karena lapar tapi warung udah tutup, atau kerja sambilan di kafe sepulang kuliah biar bisa bayar sewa kos. Ada yang bangun subuh bukan karena rajin salat, tapi karena antre kamar mandi satu buat lima orang.
Mimpi-mimpi besar mulai dililit kenyataan kecil: revisi bab tiga, dosen killer, deadline mendadak, dan jaringan Wi-Fi kos yang lebih sering hilang ketimbang muncul. Tapi entah kenapa, semua tetap lanjut. Mungkin karena jauh di lubuk hati, mereka tahu: gelar sarjana ini bukan cuma buat diri sendiri. Ini buat emak-bapak di kampung yang tiap bulan ngirim uang sambil nahan napas. Buat tetangga yang suka nyombong, “Tuh, anaknya kuliah di Jatinangor!” Buat diri sendiri yang pengin buktiin: hidup bisa ditempuh dengan kaki sendiri, meski jalannya becek dan tanjakannya bikin ngos-ngosan.
Tentu, Jatinangor juga ladang cinta dan dosa. Dari kosan belakang kampus sampai Warmindo Sepang, banyak kisah asmara tumbuh subur, ada yang mekar sampai pelaminan, ada juga yang layu di tengah jalan karena… skripsi. Tapi di balik semua drama cinta dan dosa, ada naskah perjuangan yang nggak pernah ditulis: bagaimana anak-anak muda ini belajar bertahan, bermimpi, dan tumbuh jadi orang dewasa meski kadang masih ngutang di warung sebelah.
Jatinangor mengajarkan bahwa hidup bukan soal siapa paling cepat lulus, tapi siapa paling tahan banting. Yang kuat bukan cuma yang pinter, tapi yang tetap bisa ketawa meski revisi balik lagi kayak mantan yang nggak tahu malu.