GARDA PROLETARIAT
Namamu serupa mars yang dulu dinyanyikan bapakmu
dengan dada tegak, rahang mengeras,
di tengah barisan, di bawah bendera yang warnanya
tak pernah pudar meski dicuci air mata.
Nak,
aku tak ingin kau hidup sebagai salinan masa lalu,
meski darahmu mengalir dari lelaki yang dulu membakar poster iklan
dan mengganti mimpi anak-anak dengan jargon perlawanan.
Jangan tunduk,
pada adat yang hanya hidup untuk menua,
atau pada doa yang lebih takut pada suara rakyat
daripada kemurkaan langit.
Tapi, mari kita rakit hari-hari
dari papan usang, bekas kebijakan gagal,
dari paku-paku bekas utang negeri,
dan layar yang sobek karena terlalu sering dikibarkan tanpa arah.
Biar rakitmu tak megah,
asal bisa menyebrangkan satu kampung
dari lapar menuju cita-cita.
Nak, jadi puisi bukan berarti jadi lembut,
tapi jadi tajam yang tak melukai,
jadi kuat yang tak menindas.
Itulah realisme sosialis:
tak memuja langit terlalu tinggi,
tapi juga tak membiarkan bumi diinjak sembarangan.
Maka berlayarlah,
Giandra Garda Mahardika
bukan sebagai lambang,
tapi sebagai laku.
Bukan simbol perlawanan,
tapi jalan menuju keadilan
yang bisa dimakan,
dihuni,
dan diwariskan.