PPN 12%: Supremasi Sipil, Bau Amis Fasisme, dan Diktator yang Memakai Jas
Di negeri yang katanya demokrasi, PPN 12% menjadi bukti terbaru bahwa supremasi sipil hanyalah istilah indah yang terus direvisi dalam kamus kekuasaan. Katanya, rakyat adalah pemegang kedaulatan tertinggi, tapi yang terasa, rakyat hanya jadi sapi perah dengan janji-janji kosong dan tabel pajak yang semakin rumit. Dan di balik layar, bau amis fasisme beraroma militerisme basi makin sulit ditutupi.
Pajak, tentu, adalah urat nadi negara. Tapi ketika tarif PPN dinaikkan, siapa sebenarnya yang menanggung beban? Rakyat kecil yang membeli kebutuhan pokok di pasar, pedagang kaki lima yang omzetnya pas-pasan, hingga warung makan sederhana yang harus menaikkan harga demi bertahan hidup. Sementara itu, di gedung-gedung tinggi, mereka yang mengaku “wakil rakyat” sibuk mengesahkan kebijakan tanpa berkonsultasi, karena, yah, mereka tahu rakyat tidak akan sempat protes—terlalu sibuk menghitung uang receh untuk bayar listrik.
Supremasi sipil seharusnya menjamin bahwa kebijakan lahir dari aspirasi rakyat. Tapi di sini, supremasi sipil bukanlah pilar demokrasi. Ia lebih seperti tirai tipis yang digunakan untuk menutupi panggung kekuasaan yang dikuasai kaum elit dan, tentu saja, bayang-bayang militerisme. Bukankah menarik bahwa saat rakyat menggugat kebijakan, aparat berseragam lebih cepat datang daripada jawaban memadai dari pejabat terkait?
Fasisme militerisme yang dulu kita kira sudah terkubur ternyata masih menyelinap, walau kini tampil lebih rapi dengan jargon modern dan PowerPoint. Jangan salah, mereka tidak perlu lagi memukul meja atau membentak. Mereka cukup menandatangani peraturan, menyebutnya sebagai “langkah strategis,” lalu menyerahkan tugas kepada pasukan bersenjata untuk menjaga stabilitas, alias membungkam suara yang kritis. Kritik pada PPN 12%? Langsung dituduh mengancam stabilitas ekonomi.
Apa yang paling menyedihkan dari ini semua? Rakyat tidak hanya membayar pajak atas barang yang mereka konsumsi, tetapi juga membayar harga atas hilangnya hak untuk berbicara. Pajak naik, harga naik, tetapi hak sipil turun. Militerisme yang dulu menjelma dalam bentuk tank di jalan kini hadir dalam bentuk penindasan birokratis: kebijakan dibuat tanpa transparansi, pengawasan makin ketat, dan siapa pun yang berani bertanya segera dilabeli pembuat onar.
Dan kita, rakyat kecil, dibiarkan hidup di tengah ironi ini. Kita dipaksa percaya bahwa PPN 12% adalah solusi atas segala persoalan bangsa. Tapi di balik itu, aroma amis kediktatoran tetap menyengat. Kita tahu, seperti biasa, mereka yang duduk di puncak piramida kekuasaan akan tetap nyaman, sementara kita di bawah hanya bisa menonton—dan membayar untuk itu.
Fasisme militerisme basi memang sudah jarang pakai senjata, tapi jangan lupa: pena birokrat jauh lebih tajam. Dan kalau kita tidak waspada, PPN 12% hanya akan jadi pembuka bagi rentetan kebijakan lain yang terus mengurangi ruang gerak kita. Di negeri ini, bahkan untuk bernapas pun terasa seperti utang—dan jangan kaget kalau suatu hari nanti, utang itu juga kena PPN.