22 Desember 2024

 

Semua bermula di kelas 3 SMP, ketika sebuah komputer pertama mendarat di meja belajar. Itu adalah Pentium 1 dengan Windows 95, sebuah perangkat yang di masa itu seperti portal menuju dunia baru. Komputer itu menjadi teman bermain, belajar, dan mencoba hal-hal baru—sekaligus memulai berbagai kenakalan teknologi.

Namun, kenakalan sejati dimulai saat sebuah Pentium 3 hadir di rumah, lengkap dengan buku manual Windows 98 karya Mico Pardosi, hadiah dari Bapak. CD instalasi bajakan dari seorang teman di Jatinangor menjadi peluru pertama. Berbekal tekad dan rasa penasaran, komputer itu diinstal ulang. Masa itu, installer belum semudah sekarang dengan GUI yang penuh warna; semua masih layar hitam ala MS-DOS. Namun, setiap perintah yang diketik, setiap proses yang berhasil, memberikan rasa puas yang tak ternilai. Kenakalan ini ternyata baru awal dari perjalanan panjang dunia eksplorasi teknologi.

Di kelas 1 SMA, dorongan untuk terus belajar makin menguat. Guru komputer, Mas Dewa Yana, memberi wejangan: "Merakit PC itu mudah." Wejangan sederhana itu langsung tertanam. Berbekal tabungan, sebuah perjalanan ke Jaya Plaza dimulai. Di sana, komponen demi komponen dikumpulkan: motherboard tanpa casing, kepingan RAM, dan hard disk copotan. Semua dibawa pulang dengan semangat, dirakit menjadi sebuah AMD Sempron sederhana tanpa casing. Ini menjadi proyek rakitan pertama yang membuat rasa percaya diri makin tumbuh.

Pada masa itu, dunia komputansi adalah lautan ilmu baru. Tidak hanya belajar instal ulang atau rakit PC, tetapi juga menjelajahi dunia coding. Bahasa seperti Delphi dan Python mulai dipelajari, meski hanya dari buku bekas atau tutorial seadanya. Coding menjadi seperti permainan baru, di mana logika dan kreativitas digabungkan untuk menciptakan sesuatu yang unik. Tidak berhenti di situ, topologi jaringan sederhana pun mulai dikuasai. Demi bisa bermain Counter-Strike bersama teman-teman, jaringan lokal dibuat dengan modal minim. Tinggal bermodal "sok kenal sok dekat" (sksd) dengan teman-teman yang paham teknis, solusi selalu bisa ditemukan tanpa harus mengeluarkan biaya besar.

Kenakalan ini juga tidak berhenti di dunia komputer. Ketika Nokia 5800 hadir, Symbian OS pun jadi sasaran berikutnya. Dengan nekat, ponsel itu diflashing untuk mencoba modifikasi sistem. Begitu juga ketika era smartphone Android tiba. Samsung Galaxy Ace, yang awalnya berjalan di Froyo, dipaksa di-root dan di-upgrade ke KitKat, meskipun perangkat itu jelas sudah kewalahan. Dan ketika iPhone akhirnya masuk genggaman, perangkat itu pun tidak luput dari jailbreaking. Dari iPhone 3 hingga iPhone 5, batasan yang dibuat oleh Apple dibongkar satu per satu.

Namun, yang paling monumental adalah ketika Bapak, setiap pagi setelah lari, membawa pulang majalah komputer bekas dari Pajajaran. Dari sana, sebuah nama baru dikenal: Linux. Dengan semangat yang sama seperti mengotak-atik Windows, Linux IGOS, racikan LIPI, menjadi proyek berikutnya. Dibantu teknisi Legos, instalasi Linux menjadi pengalaman yang membuka pandangan baru tentang dunia open-source dan kebebasan teknologi.

Perjalanan ini tidak hanya soal eksplorasi teknologi, tetapi juga tentang keberanian untuk mencoba hal baru, rasa ingin tahu yang tak pernah padam, dan kenangan yang terus terukir di setiap eksperimen. Dari layar hitam MS-DOS hingga jailbreak modern, dari topologi jaringan Counter-Strike hingga Linux, perjalanan ini adalah bukti bahwa rasa ingin tahu dapat membawa seseorang menjelajah dunia teknologi yang tak terbatas. Ini adalah cerita tentang seorang anak SMP yang "nakal," yang kemudian tumbuh menjadi penjelajah teknologi sejati dengan tekad dan kreativitas tanpa batas.