Hujan dalam Bingkai Madilog
Hujan turun seperti ritme sejarah yang tak terelakkan, menembus bumi dengan logika yang tak dapat disangkal. Ia bukan sekadar tetes air yang jatuh dari langit, melainkan manifestasi dialektika alam: panas menguapkan air, awan menggumpal, dan pada waktunya, hujan kembali turun. Inilah hukum materialisme yang bergerak tanpa henti, tak peduli pada keinginan manusia yang ingin menundukkan alam. Sebagaimana Tan Malaka menulis, “Segala kejadian di dunia ini adalah hasil gerak materi, dan materi adalah asas dari segala kejadian.”
Dalam hujan, tersirat pertarungan antara sebab dan akibat. Ia tidak lahir dari keajaiban, tetapi dari kerja alam yang saling terhubung. Ini bukan tentang mitos atau takhayul yang menganggap hujan sebagai kemurahan dewa, melainkan proses yang bisa dijelaskan oleh akal sehat, oleh ilmu pengetahuan. Bukankah Tan Malaka mengajarkan, “Kita mesti berpikir dengan realitas, bukan dengan dongeng atau tahayul”?
Namun, hujan juga adalah refleksi dari logika. Ia menembus tanah, memberi makan biji-bijian, menumbuhkan padi yang menjadi sandaran hidup kaum tani. Hujan adalah bagian dari roda produksi, dari perjuangan hidup yang tak pernah berhenti. Dalam setiap tetesnya, terdapat harapan dan ancaman: harapan akan panen yang melimpah, namun juga ancaman banjir yang menghancurkan. Dialektika antara hidup dan kehancuran hadir di setiap rinai yang jatuh.
Tetapi, bagi mereka yang berpikir, hujan tidak semata peristiwa alam, melainkan panggilan untuk bertanya: bagaimana kita memanfaatkan kekuatan alam ini demi kehidupan yang lebih adil? Bagaimana hujan, sebagai simbol materialisme, bisa menjadi alat untuk mengubah nasib? Dalam jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini, terletak semangat Madilog, semangat berpikir kritis yang mendorong kita untuk tidak hanya memahami dunia, tetapi juga mengubahnya. Seperti yang ia tegaskan, “Revolusi pikiran mesti mendahului revolusi sosial.”
Hujan adalah guru. Ia mengajarkan bahwa perubahan adalah keniscayaan. Di bawah derasnya, manusia belajar, bukan untuk tunduk, tetapi untuk beradaptasi dan melawan. Sebab, sebagaimana hujan menumbuhkan kehidupan, pemahaman yang lahir dari Madilog adalah senjata untuk menumbuhkan perlawanan terhadap segala bentuk penindasan. Bukankah Tan Malaka percaya bahwa “Akal adalah penggerak utama dalam kemajuan masyarakat”?