7.12 AM
Pagi membangunkanku dari lelap. Bukan Karena kokok ayam atau sinar matahari yang masuk melalui celah-celah fentilasi kamar, tetapi karena mereka memang membangunkanku.
Kejadian ini bukanlah yang pertama. Aku sudah lupa kapan pertama kali aku mengalami semua keanehan ini. Peralatan sekolah yang bisa berbicara, alat-alat elektronik, pohon, binatang, langit, semuanya seolah berbicara dengan ku. Tapi aku tak pernah membicarakan ini pada siapapun semenjak sahabatku memergoki ku sedang berbicara dengan sebuah pohon mahoni besar di depan sekolah. Dia menganggap ku gila, dia tidak mau mendengarkan penjelasan ku. Dan kami tidak pernah bersama-sama lagi, bahkan sekadar bertegur sapa pun tidak.
Kadang aku kasihan mendengar jeritan wajan –yang pantatnya sudah gosong– ketika mama menyiramnya dengan air sebelum badannya benar-benar dingin. Aku bilang, tunggu dingin dulu baru dicuci. Seperti mama yang melarang ku langsung mandi air dingin setelah seharian bermain panas-panasan di luar sana, nanti demam, katanya. Tapi mama tidak mau dengar. Katanya, nanti keburu dicuci sama nenek. Aku Cuma bisa melihatnya saja dari jauh tanpa bisa berbuat apa-apa. Aku juga tidak tega melihat pohon mahoni besar di depan sekolah yang ditebang beberapa hari lalu. Padahal dia yang selalu menyapaku lebih dulu sejak aku masuk sekolah itu. Kata orang yang menebangnya, ini untuk kepentingan bersama, biar bisa merasakan nyamannya penerangan di desa.
Bertahun-tahun aku tinggal di desa, sekarang tempat ini tak terasa mendesa. Sudah tidak ada bedanya dengan kota yang panas penuh polusi dan tentunya tidak sedikit suara-suara yang mengeluh. Bukan orang-orangnya yang mengeluh, tetapi pepohonan dan makhluk-makhluk lainnya.
Kadang ketika tengah malam, saat semua sudah sunyi, aku mendengar rintihan aspal kering yang sedikit gugus di jalan. Katanya, dia tak pernah bisa tenang walau sudah larut. Karena saat malam tiba, tak jarang sekelompok pembalap liar kebut-kebutan di atasnya itu, padahal ia ingin bisa berguna dalam jangka waktu yang panjang.
Awalnya aku merasa sendirian dengan semua keadaan ini. Aku merasa terasing karena tidak bisa berbagi dengan orang lain. Tetapi tak berapa lama dari sana, satu per satu aku bertemu dengan orang-orang yang juga memiliki pengalamann-pengalaman aneh seperti yang aku alami. Dan entah bagaimana, kami bisa saling tahu kalau kami sama. Entah itu sekadar papasan atau hanya bertemu mata, padahal kami sama sekali belum memperkenalkan diri satu sama lain.
Sebagian dari mereka memang tidak bisa berkomunikasi dengan makhluk lain atau benda mati seperti aku, tapi mereka memiliki kelebihan lain yang tidak ku miliki. Misalnya saja mereka bisa melihat dan berkomunikasi dengan makhluk dari dimensi lain, ada yang bisa astral projection –kemampuan untuk keluar dari tubuh, seperti tidur tetapi sebenarnya roh mu sedang melakukan perjalanan– lalu ada juga yang bisa menggerakkan benda-benda dengan kekuatan pikirannya, juga ada yang dapat menyerap kemampuan atau energi orang lain, berteleport dan masih banyak lagi. Kalau kalian pecinta komik atau penikmat film, tentunya kalian pernah menemukan beberapa cerita yang serupa dengan kami. Seperti misalnya saja komik Psychis atau serial Heroes. Dan misi terbesar kami adalah menyelamatkan dunia, ya, seperti itulah. Tapi karena hal itu terdengar terlalu ‘wah’, mustahil, jadi kami lebih suka mengatakannya dengan sebutan lain, ‘menolong sesama’.
Pada suatu hari, aku sedang duduk di warung kecil pinggir jalan sambil menikmati segelas dingin lemon tea. Di meja sebelah duduk dua orang pria dewasa, yang satu nampak separuh baya, rambutnya sudah banyak ditumbuhi uban, perutnya sedikit tambun, dan kumisnya yang cukup lebat berantakan. Satu orang lagi terlihat lebih muda darinya, mungkin sekitar 30-an usianya. Mereka duduk berhadap-hadapan dengan dua cangkir kopi hitam di depan masing-masing pria itu. Keduanya nampak sedang menghitung uang, entah memamerkan beberapa lembar uang seratus ribuan dan lima puluh ribuan di tempat kecil ini. Meski tidak ada perbincangan di antara mereka, aku masih saja mendengar suara-suara kecil mendesis panik. Awalnya ku pikir kedua pria itu berbisik-bisik karena takut uangnya dicuri atau bagaimana, tapi setelah ku tengok ke arah mereka, ternyata bukan. Yang satu tengah asyik mengepulkan asap dari mulutnya sambil membagi uang-uang itu menjadi dua gepok di meja itu.
Karena kurang kerjaan dan rasa penasaranku, akhirnya ku cermati juga suara-suara itu. Ternyata itu adalah suara dari uang-uang milik kedua pria itu. Mereka gelisah karena tidak tahu kapan mereka, mau tidak mau, harus memenuhi hasrat liar pria-pria itu. Entah itu bermain gila dengan wanita-wanita malam, bermain judi, atau sekadar minum-minuman beralkohol. Mereka risih ketika kedua pria itu menumpukan kebejatannya pada mereka. Salah satu dari lembaran-lembaran uang itu meringis. Katanya, harga diri mereka dipertaruhkan selama masih berada di tangan kedua orang itu. Mereka tidak pernah tenang, karena secara tidak langsung mereka dipaksa mengikuti nafsu orang-orang itu untuk berbuat tidak baik. Entah bagaimana cara menolong mereka. Jika ku tukar mereka dengan uangku, aku tak punya sebanyak itu, dan itu artinya sama saja dengan aku menukarkan harga diri uang-uangku. Jika ku ambil mereka dari pria-pria itu, bisa-bisa aku digebuki hingga babak belur, dan mereka tetap diambil kembali.
Kadang kemampuan ini membuatku frustasi karena tidak bisa berbuat apa-apa sedang aku tahu penderitaan mereka. Pada akhirnya aku hanya diam seolah-olah aku tidak mendengar benda-benda itu berbicara. Tapi terkadang ada saja di antara mereka yang mengetahui kalau aku memiliki kemampuan seperti ini. Jadi, mau tidak mau aku harus sedikit berbisik ketika berbicara pada benda-benda itu, agar orang-orang tidak menganggapku aneh atau gila karena nampak berbicara sendiri.
Sebenarnya hampir di setiap waktu pikiranku selalu mencari-cari jawaban apa dan kenapa sebenarnya aku ini, kenapa aku begini sedang orang lain tidak. Banyak yang sudah ku pelajari atau baru sedikit dari sekian informasi yang ku dapat tentang manusia-manusia yang tidak biasa, apakah itu Indigo, Starseed, Rainbow ataukah Crystal. Dan aku tidak yakin termasuk yang mana. Hanya yang pernah ku dengar dari seorang teman saat aku mengutarakan kebingunganku, dia bilang kalau aku mungkin perpaduan Indigo-Crystal.
Satu yang aku garis bawahi, rata-rata orang seperti kami memiliki masa kecil yang tidak mengenakan, keadaan keluarga yang cukup paceklik, pandangan orang yang salah kaprah, kata ‘aneh’ sudah tak asing di telinga kami, di telingaku juga. Perasaan rendah diri, keinginan untuk tiada, mungkin bukan mati, tapi sekadar ingin hilang karena tidak bisa berbuat banyak untuk banyak orang, karena tidak tahu harus bagaimana, dan akhirnya kata-kata yang terpikir hanyalah ‘aku ingin mati’. Rata-rata orang-orang seperti itu memiliki pikiran orang dewasa melebihi usia sebenarnya berdasar akte, tapi terkadang juga moody, seperti aku. Aku orangnya memang mood-mood-an, jadi sulit ditebak, begitu kata teman-temanku. Yang aku tanyakan di sini ‘kenapa?’ kenapa rata-rata catatan hidupnya seperti itu? Ya walaupun ada beberapa yang hidup lancar tanpa hambatan, menjadi seorang jenius, tapi tetap saja bagi mereka tetap ada yang mengganjal.
Aku sempat mendengar beberapa orang –yang tidak memiliki kemampuan-kemampuan ‘aneh’– sedang berbincang-bincang tentang makhluk halus. Salah satu dari mereka berkata kalau ia ingin bisa melihat. Tanpa sadar kuhembuskan nafas panjang, mendengar saja sudah lelah apalagi melihat, pikirku.
Lelah, mungkin karena aku orangnya tidak enakan, merasa semuanya harus baik-baik saja, jadi di saat aku hanya bisa tahu tanpa bisa berbuat apa-apa yang kurasakan hanyalah sakit dan lelah.
Aku lelah.
Di saat aku tidak mengatakannya, aku terus saja mencari sumber suara itu. Aku termasuk orang yang penakut, kalau ada hal aneh pastilah harus ku cari tahu apa dan dari mana itu. Karena kalau tidak, maka pikiranku hanya akan membawaku berkelana pada cerita-cerita horror yang memberdirikan bulu-bulu kudukku. Entahlah, apakah itu dikatakan penakut atau pemberani.
Pijakanku sedikit bergetar, seperti ada rasa sakit yang tertahan.
Aku lelah.
Akhirnya aku tahu siapa yang berbicara. Itu suara Bumi. Dia bilang, dia lelah bertahan untuk manusia-manusia yang sudah tidak memiliki rasa kemanusiaan mereka terhadap alam, sedang dia sudah sangat tua dan rapuh. Dia gerah dengan segala aktivitas kota, pabrik, gedung-gedung tinggi, dunia malam, sampah-sampah yang dibuang begitu saja tanpa melihat tempat dan kondisi, juga permukaannya yang kian menipis karena terus-menerus digali. Digali untuk dibuat sesuatu. Keseimbangannya menjadi goyah, tapi dia harus tetap bertahan hingga harinya tiba. Di mana Tuhan membebaskannya dari tanggung jawab selama beribu-ribu tahun bahkan lebih lama dari itu, menyangga manusia dan segala penghuni lain serta ini itunya. Dan menghidupinya kembali dengan hijaunya pepohonan, jernihnya sungai-sungai, sejuknya alam, tak lupa pula dengan isinya, makhluk-makhluk serupa dalam generasi yang baru, orang-orang yang masih awam akan teknologi, bahkan mereka yang masih menulis dengan bebatuan di sekitarnya.
Di saat Bumi dan alam menanti-nanti pergantian besar-besaran itu, ada rasa yang bergejolak dalam batinku. Aku juga inginkan hal itu segera terlaksana karena itu baik bagi Bumi, alam dan yang lainnya, ku rasa.
Dia mengatakan kalau waktunya tidak lama lagi. Bukan hanya dia, tapi yang lain pun begitu. Sehingga kata-kata ‘tidak lama lagi’, ‘sebentar lagi’ dan kata-kata lain yang menjurus ke sana sudah tak asing lagi di telingaku. Aku tersenyum lega, tapi dahiku berkerut.
Berapa orang dari kami yang tersisa untuk menjadi penerus di generasi berikutnya?
Ketika semuanya hening karena tidak satupun yang dapat menjawab pertanyaanku, barulah terdengar degup jantung yang tengah memompa kencang darah di tubuhku.
Aku tertawa, meski mataku berkaca.
Kejadian ini bukanlah yang pertama. Aku sudah lupa kapan pertama kali aku mengalami semua keanehan ini. Peralatan sekolah yang bisa berbicara, alat-alat elektronik, pohon, binatang, langit, semuanya seolah berbicara dengan ku. Tapi aku tak pernah membicarakan ini pada siapapun semenjak sahabatku memergoki ku sedang berbicara dengan sebuah pohon mahoni besar di depan sekolah. Dia menganggap ku gila, dia tidak mau mendengarkan penjelasan ku. Dan kami tidak pernah bersama-sama lagi, bahkan sekadar bertegur sapa pun tidak.
Kadang aku kasihan mendengar jeritan wajan –yang pantatnya sudah gosong– ketika mama menyiramnya dengan air sebelum badannya benar-benar dingin. Aku bilang, tunggu dingin dulu baru dicuci. Seperti mama yang melarang ku langsung mandi air dingin setelah seharian bermain panas-panasan di luar sana, nanti demam, katanya. Tapi mama tidak mau dengar. Katanya, nanti keburu dicuci sama nenek. Aku Cuma bisa melihatnya saja dari jauh tanpa bisa berbuat apa-apa. Aku juga tidak tega melihat pohon mahoni besar di depan sekolah yang ditebang beberapa hari lalu. Padahal dia yang selalu menyapaku lebih dulu sejak aku masuk sekolah itu. Kata orang yang menebangnya, ini untuk kepentingan bersama, biar bisa merasakan nyamannya penerangan di desa.
Bertahun-tahun aku tinggal di desa, sekarang tempat ini tak terasa mendesa. Sudah tidak ada bedanya dengan kota yang panas penuh polusi dan tentunya tidak sedikit suara-suara yang mengeluh. Bukan orang-orangnya yang mengeluh, tetapi pepohonan dan makhluk-makhluk lainnya.
Kadang ketika tengah malam, saat semua sudah sunyi, aku mendengar rintihan aspal kering yang sedikit gugus di jalan. Katanya, dia tak pernah bisa tenang walau sudah larut. Karena saat malam tiba, tak jarang sekelompok pembalap liar kebut-kebutan di atasnya itu, padahal ia ingin bisa berguna dalam jangka waktu yang panjang.
Awalnya aku merasa sendirian dengan semua keadaan ini. Aku merasa terasing karena tidak bisa berbagi dengan orang lain. Tetapi tak berapa lama dari sana, satu per satu aku bertemu dengan orang-orang yang juga memiliki pengalamann-pengalaman aneh seperti yang aku alami. Dan entah bagaimana, kami bisa saling tahu kalau kami sama. Entah itu sekadar papasan atau hanya bertemu mata, padahal kami sama sekali belum memperkenalkan diri satu sama lain.
Sebagian dari mereka memang tidak bisa berkomunikasi dengan makhluk lain atau benda mati seperti aku, tapi mereka memiliki kelebihan lain yang tidak ku miliki. Misalnya saja mereka bisa melihat dan berkomunikasi dengan makhluk dari dimensi lain, ada yang bisa astral projection –kemampuan untuk keluar dari tubuh, seperti tidur tetapi sebenarnya roh mu sedang melakukan perjalanan– lalu ada juga yang bisa menggerakkan benda-benda dengan kekuatan pikirannya, juga ada yang dapat menyerap kemampuan atau energi orang lain, berteleport dan masih banyak lagi. Kalau kalian pecinta komik atau penikmat film, tentunya kalian pernah menemukan beberapa cerita yang serupa dengan kami. Seperti misalnya saja komik Psychis atau serial Heroes. Dan misi terbesar kami adalah menyelamatkan dunia, ya, seperti itulah. Tapi karena hal itu terdengar terlalu ‘wah’, mustahil, jadi kami lebih suka mengatakannya dengan sebutan lain, ‘menolong sesama’.
Pada suatu hari, aku sedang duduk di warung kecil pinggir jalan sambil menikmati segelas dingin lemon tea. Di meja sebelah duduk dua orang pria dewasa, yang satu nampak separuh baya, rambutnya sudah banyak ditumbuhi uban, perutnya sedikit tambun, dan kumisnya yang cukup lebat berantakan. Satu orang lagi terlihat lebih muda darinya, mungkin sekitar 30-an usianya. Mereka duduk berhadap-hadapan dengan dua cangkir kopi hitam di depan masing-masing pria itu. Keduanya nampak sedang menghitung uang, entah memamerkan beberapa lembar uang seratus ribuan dan lima puluh ribuan di tempat kecil ini. Meski tidak ada perbincangan di antara mereka, aku masih saja mendengar suara-suara kecil mendesis panik. Awalnya ku pikir kedua pria itu berbisik-bisik karena takut uangnya dicuri atau bagaimana, tapi setelah ku tengok ke arah mereka, ternyata bukan. Yang satu tengah asyik mengepulkan asap dari mulutnya sambil membagi uang-uang itu menjadi dua gepok di meja itu.
Karena kurang kerjaan dan rasa penasaranku, akhirnya ku cermati juga suara-suara itu. Ternyata itu adalah suara dari uang-uang milik kedua pria itu. Mereka gelisah karena tidak tahu kapan mereka, mau tidak mau, harus memenuhi hasrat liar pria-pria itu. Entah itu bermain gila dengan wanita-wanita malam, bermain judi, atau sekadar minum-minuman beralkohol. Mereka risih ketika kedua pria itu menumpukan kebejatannya pada mereka. Salah satu dari lembaran-lembaran uang itu meringis. Katanya, harga diri mereka dipertaruhkan selama masih berada di tangan kedua orang itu. Mereka tidak pernah tenang, karena secara tidak langsung mereka dipaksa mengikuti nafsu orang-orang itu untuk berbuat tidak baik. Entah bagaimana cara menolong mereka. Jika ku tukar mereka dengan uangku, aku tak punya sebanyak itu, dan itu artinya sama saja dengan aku menukarkan harga diri uang-uangku. Jika ku ambil mereka dari pria-pria itu, bisa-bisa aku digebuki hingga babak belur, dan mereka tetap diambil kembali.
Kadang kemampuan ini membuatku frustasi karena tidak bisa berbuat apa-apa sedang aku tahu penderitaan mereka. Pada akhirnya aku hanya diam seolah-olah aku tidak mendengar benda-benda itu berbicara. Tapi terkadang ada saja di antara mereka yang mengetahui kalau aku memiliki kemampuan seperti ini. Jadi, mau tidak mau aku harus sedikit berbisik ketika berbicara pada benda-benda itu, agar orang-orang tidak menganggapku aneh atau gila karena nampak berbicara sendiri.
Sebenarnya hampir di setiap waktu pikiranku selalu mencari-cari jawaban apa dan kenapa sebenarnya aku ini, kenapa aku begini sedang orang lain tidak. Banyak yang sudah ku pelajari atau baru sedikit dari sekian informasi yang ku dapat tentang manusia-manusia yang tidak biasa, apakah itu Indigo, Starseed, Rainbow ataukah Crystal. Dan aku tidak yakin termasuk yang mana. Hanya yang pernah ku dengar dari seorang teman saat aku mengutarakan kebingunganku, dia bilang kalau aku mungkin perpaduan Indigo-Crystal.
Satu yang aku garis bawahi, rata-rata orang seperti kami memiliki masa kecil yang tidak mengenakan, keadaan keluarga yang cukup paceklik, pandangan orang yang salah kaprah, kata ‘aneh’ sudah tak asing di telinga kami, di telingaku juga. Perasaan rendah diri, keinginan untuk tiada, mungkin bukan mati, tapi sekadar ingin hilang karena tidak bisa berbuat banyak untuk banyak orang, karena tidak tahu harus bagaimana, dan akhirnya kata-kata yang terpikir hanyalah ‘aku ingin mati’. Rata-rata orang-orang seperti itu memiliki pikiran orang dewasa melebihi usia sebenarnya berdasar akte, tapi terkadang juga moody, seperti aku. Aku orangnya memang mood-mood-an, jadi sulit ditebak, begitu kata teman-temanku. Yang aku tanyakan di sini ‘kenapa?’ kenapa rata-rata catatan hidupnya seperti itu? Ya walaupun ada beberapa yang hidup lancar tanpa hambatan, menjadi seorang jenius, tapi tetap saja bagi mereka tetap ada yang mengganjal.
Aku sempat mendengar beberapa orang –yang tidak memiliki kemampuan-kemampuan ‘aneh’– sedang berbincang-bincang tentang makhluk halus. Salah satu dari mereka berkata kalau ia ingin bisa melihat. Tanpa sadar kuhembuskan nafas panjang, mendengar saja sudah lelah apalagi melihat, pikirku.
Lelah, mungkin karena aku orangnya tidak enakan, merasa semuanya harus baik-baik saja, jadi di saat aku hanya bisa tahu tanpa bisa berbuat apa-apa yang kurasakan hanyalah sakit dan lelah.
***\
Aku lelah.
Di saat aku tidak mengatakannya, aku terus saja mencari sumber suara itu. Aku termasuk orang yang penakut, kalau ada hal aneh pastilah harus ku cari tahu apa dan dari mana itu. Karena kalau tidak, maka pikiranku hanya akan membawaku berkelana pada cerita-cerita horror yang memberdirikan bulu-bulu kudukku. Entahlah, apakah itu dikatakan penakut atau pemberani.
Pijakanku sedikit bergetar, seperti ada rasa sakit yang tertahan.
Aku lelah.
Akhirnya aku tahu siapa yang berbicara. Itu suara Bumi. Dia bilang, dia lelah bertahan untuk manusia-manusia yang sudah tidak memiliki rasa kemanusiaan mereka terhadap alam, sedang dia sudah sangat tua dan rapuh. Dia gerah dengan segala aktivitas kota, pabrik, gedung-gedung tinggi, dunia malam, sampah-sampah yang dibuang begitu saja tanpa melihat tempat dan kondisi, juga permukaannya yang kian menipis karena terus-menerus digali. Digali untuk dibuat sesuatu. Keseimbangannya menjadi goyah, tapi dia harus tetap bertahan hingga harinya tiba. Di mana Tuhan membebaskannya dari tanggung jawab selama beribu-ribu tahun bahkan lebih lama dari itu, menyangga manusia dan segala penghuni lain serta ini itunya. Dan menghidupinya kembali dengan hijaunya pepohonan, jernihnya sungai-sungai, sejuknya alam, tak lupa pula dengan isinya, makhluk-makhluk serupa dalam generasi yang baru, orang-orang yang masih awam akan teknologi, bahkan mereka yang masih menulis dengan bebatuan di sekitarnya.
Di saat Bumi dan alam menanti-nanti pergantian besar-besaran itu, ada rasa yang bergejolak dalam batinku. Aku juga inginkan hal itu segera terlaksana karena itu baik bagi Bumi, alam dan yang lainnya, ku rasa.
Dia mengatakan kalau waktunya tidak lama lagi. Bukan hanya dia, tapi yang lain pun begitu. Sehingga kata-kata ‘tidak lama lagi’, ‘sebentar lagi’ dan kata-kata lain yang menjurus ke sana sudah tak asing lagi di telingaku. Aku tersenyum lega, tapi dahiku berkerut.
Berapa orang dari kami yang tersisa untuk menjadi penerus di generasi berikutnya?
Ketika semuanya hening karena tidak satupun yang dapat menjawab pertanyaanku, barulah terdengar degup jantung yang tengah memompa kencang darah di tubuhku.
Aku tertawa, meski mataku berkaca.
