06 Desember 2025

Rancaekek hari ini bukanlah ruang yang rusak karena ulah warganya. Ia rusak karena keputusan-keputusan lama yang dibuat oleh tangan-tangan “tak bernama” tangan yang dulu memegang pena kebijakan, tetapi kini hilang dalam arsip sejarah. Tidak ada yang mau mengakuinya, tentu saja. Salah satu keuntungan menjadi pengambil keputusan di masa lalu adalah mudahnya menghilang ketika dampaknya muncul di masa depan.

Kisah kehancuran ekologinya sudah dimulai jauh sebelum warga lahir dan tinggal di kawasan ini. Dimulai ketika Revolusi Hijau disambut bak sabda suci. Saat itu, di lereng-lereng Sumedang, hutan ditebang bukan karena bencana, melainkan karena “kewajaran”. Pohon dianggap penghambat. Keseimbangan ekologis diperlakukan seperti gangguan kecil yang bisa disapu dengan dalih modernisasi pertanian. Tanah yang dulu kuat ditopang akar, dipaksa menanggung pupuk kimia dan erosi yang makin brutal tiap tahun.

Air dari pegunungan kehilangan penyangga. Ia mengalir tanpa karakter, meluncur tanpa jalur alami, membawa jejak keserakahan yang dibungkus jargon pembangunan. Dan setelah hutan-hutan di hulu tumbang, air menjelajah turun mencari dataran rendahmenuju Rancaekek, seperti tamu tak diundang yang membawa kabar buruk.

Tetapi bencana itu tidak datang sendirian. Di Rancaekek sendiri, pada akhir 1970-an hingga 1980-an, terjadi gelombang perubahan yoang lebih diam tapi lebih menghancurkan. Tanah resapan, sawah, rawa tulang punggung ekologi kawasan ini perlahan berubah menjadi deretan perumahan. Bukan oleh warga biasa, bukan oleh kebutuhan lokal, tetapi oleh mereka yang memiliki cukup kuasa untuk memutuskan bahwa tanah bisa diperlakukan sebagai papan catur.

Dan keputusan itu dibuat tanpa wajah yang bisa dituduh hari ini. Tanpa nama yang bisa dipanggil. Tanpa tokoh yang mau berdiri dan berkata, “Ya, ini akibat dari kebijakan kami dahulu.”

Jadi ruang ini dibiarkan berubah begitu saja—tanpa dibaca konturnya, tanpa dipertimbangkan daya tampung airnya. Beton menggantikan basahnya tanah. Jalan-jalan lingkungan membelah aliran alami sungai-sungai kecil yang dulu mengantar air pulang ke rumahnya. Sementara pembangunan itu disebut sebagai “kemajuan”, lingkungan justru hancur perlahan.

RW 02 di Desa Rancaekek Kulon adalah bukti bahwa masyarakat bukan sumber kerusakan. Mereka mampu mengelola sampah tanpa bergantung pada TPA, membangun sistem sendiri, menjaga lingkungannya dari bawah. Tetapi ketika hujan turun, ketika limpasan dari hulu dan dari perumahan yang dibangun di tanah resapan bertemu, RW 02 ikut terendam dalam kesalahan yang tidak pernah mereka buat.

Di sinilah letak ironi Rancaekek: yang menjaga lingkungan justru menerima hukuman, sementara yang menciptakan kerusakan melenggang tenang karena waktu telah menghapus jejak mereka.

Tidak perlu menyebut jabatan apa pun. Kita semua tahu betapa keputusan ruang sering dibuat oleh mereka yang tidak pernah turun melihat lumpur. Keputusan yang ditandatangani di ruangan ber-AC, tetapi dampaknya ditanggung oleh warga yang setiap musim hujan harus menumpuk karung pasir di depan pintu rumah.

Jika hari ini Rancaekek masih terus kebanjiran, itu bukan karena warganya malas, bukan karena sampah semata, bukan karena kelalaian kecil sehari-hari. Itu karena ada generasi masa lalu yang terlalu percaya pada beton dan terlalu meremehkan pohon. Yang terlalu yakin bahwa tanah bisa selamanya diam, bahwa air bisa selamanya jinak.

Padahal tanah punya memori. Air punya dendam yang sunyi. Dan memori itulah yang terus kembali menghantam Rancaekek setiap tahun.

Selama kita masih pura-pura tidak mengenali akar masalahnya, selama kesalahan masa lalu tetap disamarkan oleh bahasa-bahasa birokratis, selama keputusan lama dibiarkan buram dan tak bertuan, Rancaekek akan terus menjadi korban dari pembangunan yang kehilangan hati nurani.

Inilah kenyataan pahitnya: warga berubah, ekologi berubah, tetapi kesalahan lama tetap mengalir bersama air yang turun dari hulu tanpa pernah benar-benar ditebus.