Ledakan Makna di SMA 72: Kisah Luka, Tanda, dan Identitas yang Tak Diberi Ruang
Ledakan yang mengguncang SMA 72 Jakarta pada awal November bukan hanya suara benda yang meledak; ia adalah suara dari sesuatu yang jauh lebih dalam suara dari tanda-tanda yang selama ini diabaikan. Di masjid sekolah, ruang yang semestinya menjadi tempat teduh, tiba-tiba pecah oleh dentuman kekerasan. Dan di balik dentuman itu, kita menemukan sebuah artefak: senjata rakitan dengan ukiran “Welcome to Hell”, dihiasi nama-nama pelaku kekerasan masjid dari belahan dunia lain Tarrant, Traini, Bissonnette sosok-sosok yang tidak seharusnya hadir di ruang belajar anak-anak.
Polisi menyebut kemungkinan bahwa pelakunya adalah seorang siswa yang “sering dibully”, seorang remaja yang keberadaannya berjalan di garis pinggir sosial sekolah. Dan di sinilah narasi itu berubah: ini bukan sekadar tindakan kriminal, bukan sekadar “anak yang iseng dengan senjata”, melainkan potret utuh dari bagaimana simbol-simbol ekstrem menjadi bahasa baru bagi mereka yang kehabisan cara untuk menyampaikan diri.
Bullying tidak pernah hanya menjadi candaan antarteman atau kenakalan kecil. Dalam semiotika sosial, bullying adalah sistem tanda bahasa yang mengatur siapa yang layak didengar dan siapa yang harus diam. Setiap ejekan, setiap tatapan meremehkan, setiap tepukan palsu di punggung, setiap penyingkiran dari kelompok tugas, semuanya menyampaikan pesan yang sama: kamu tidak dihitung di sini. Pesan itu menumpuk setiap hari, dan semakin menumpuk, semakin keras pula ia bergema di dalam dada anak yang menerimanya.
Dan ketika dunia nyata menutup pintu, dunia simbol membuka jendelanya. Anak yang terpinggirkan akan mencari makna di tempat-tempat yang tidak dibayangkan orang dewasa: di video game, di forum gelap, di meme yang menertawakan kekerasan, di estetika hitam-merah yang tampil seperti grafis pemberontakan. Nama-nama teroris global itu bukan dipilih karena ideologinya dipahami, tetapi karena mereka tampil sebagai ikon ketangguhan semu tokoh yang dianggap “berani melawan”, meski yang dilawannya adalah kemanusiaan itu sendiri.
Masjid sekolah yang menjadi lokasi ledakan itu, dalam analisis semiotik, bukan sekadar tempat kejadian. Ia adalah simbol yang dirusak. Ruang tenang tempat anak-anak bernaung seakan dipilih sebagai panggung untuk menunjukkan betapa jauh remaja itu telah berjalan dari batas aman. Ketika ruang suci ditembus oleh tanda-tanda kegelapan, kita bukan hanya melihat tindakan, tetapi pesan: bahwa rasa aman tidak lagi merasuk ke hati seseorang yang setiap hari diremehkan.
Narasi tentang siswa pendiam yang dibully ini tidak boleh dibaca sebagai “faktor kecil”. Ini adalah inti persoalan. Bullying menciptakan jurang, dan di ujung jurang itu, simbol-simbol ekstrem menunggu dengan tangan terbuka. Budaya pop menyediakan visual, warna, gaya, meme, dan kata-kata yang bisa dipungut siapa saja. Sementara sekolah, kadang tanpa sadar, menyediakan sunyi yang cukup luas bagi seorang remaja untuk merasa tidak terlihat oleh siapa pun.
Ketika dunia digital menyediakan ikon yang tampak kuat, dan dunia nyata menyediakan tatapan yang meremehkan, pilihan bagi remaja tertentu tampak seperti garis yang tak terhindarkan. Ia meminjam bahasa kekerasan untuk mengganti bahasa dirinya yang hilang. Ia mengambil nama-nama yang tidak pernah ia temui untuk melawan nama-nama yang setiap hari merundungnya. Ia menulis “Welcome to Hell” bukan karena ia ingin menghancurkan dunia, tetapi karena dunia telah lama menulis pesan serupa di punggungnya melalui perlakuan teman sebaya.
Tragedi ini mengajarkan kita bahwa tanda-tanda kecil selalu muncul lebih dulu sebelum tindakan besar pecah. Doodle kecil di buku, tulisan aneh di dinding, wallpaper ponsel bergambar tokoh gelap, perubahan sikap, keheningan yang semakin dalam semuanya adalah teks yang dapat dibaca jika kita mau memperhatikan. Sekolah sering sibuk dengan absensi, nilai, dan rapat, tetapi lupa bahwa kehidupan batin anak-anak jauh lebih ramai daripada daftar kehadiran.
Dalam kacamata semiotik, ledakan di SMA 72 bukan hanya ledakan fisik. Ia adalah letusan simbol-simbol yang tak pernah ditafsirkan. Ia adalah jeritan dari bahasa yang dibentuk oleh bullying, oleh rasa sunyi, oleh estetika ekstrem, oleh dunia digital yang menawarkan pelarian sekaligus jebakan. Ia adalah peringatan bahwa kekerasan tidak lahir tiba-tiba; ia selalu diawali tanda.
Dan tanda itu sering muncul di wajah anak yang kita kira baik-baik saja.
Peristiwa ini akhirnya mengingatkan kita bahwa tugas sekolah bukan hanya memastikan kurikulum berjalan, tetapi memastikan makna hidup seorang anak tetap utuh. Bullying bukan persoalan disiplin semata; ia adalah persoalan identitas. Dan ketika identitas retak, simbol-simbol gelap akan mengambil alih pekerjaan kita.
Ledakan di SMA 72 adalah tragedi. Tetapi ia juga undangan undangan untuk membaca lebih peka, mendengar lebih dalam, dan tidak pernah lagi mengabaikan bahasa luka yang selama ini kita anggap sebagai kenakalan kecil.
