Sabtu

Dari Penjara Norma-Norma: Menuju Keadilan Gender dalam Persfektif Eksistensialisme

 Dalam perspektif eksistensialisme, keadilan gender menjadi lebih dari sekadar upaya untuk mencapai kesetaraan formal antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Ini melibatkan pemahaman mendalam tentang bagaimana norma-norma gender yang ada memengaruhi individu dalam mencari makna eksistensial mereka. Norma-norma ini tidak hanya menciptakan perbedaan dalam perlakuan antara gender, tetapi juga membatasi pilihan dan kebebasan individu untuk menjalani hidup sesuai dengan aspirasi dan nilai-nilai mereka sendiri.

Simone de Beauvoir, dengan tajam, menyoroti bagaimana stereotip gender mereduksi perempuan menjadi objek dalam masyarakat. Dalam karya monumentalnya "The Second Sex," ia menyatakan bahwa "One is not born, but rather becomes, a woman." Ungkapan ini mengungkapkan bahwa peran gender tidaklah ditentukan secara alami, tetapi dipaksakan kepada individu oleh struktur sosial yang ada.


Maka dari itu, mencapai keadilan gender dalam perspektif eksistensialis melibatkan upaya untuk membebaskan individu dari penjara-penjara konseptual yang dibangun oleh norma-norma gender yang tidak adil. Ini bukan hanya tentang memberikan hak yang sama di atas kertas, tetapi juga tentang menciptakan ruang bagi individu untuk mengekspresikan diri mereka secara autentik tanpa harus terkekang oleh harapan-harapan atau ekspektasi yang diberlakukan oleh masyarakat berdasarkan jenis kelamin mereka.

Dengan demikian, keadilan gender dalam perspektif eksistensialis memerlukan transformasi yang mendalam dalam cara kita memahami dan memperlakukan perbedaan gender. Ini melibatkan pengakuan akan kebebasan individu untuk menentukan makna hidup mereka sendiri, tanpa dibatasi oleh stereotip atau norma-norma yang tidak adil. Hanya dengan pembebasan dari belenggu norma-norma gender yang tidak adil, individu dapat mencapai kesempurnaan eksistensial mereka dan mencapai keadilan yang sejati.

Dalam konteks ini, penting untuk diingat bahwa perspektif eksistensialisme menekankan pentingnya individu menentukan makna dan nilai hidup mereka sendiri, tanpa terkekang oleh faktor-faktor eksternal seperti norma-norma gender yang dapat membatasi kebebasan dan otonomi individu. Sartre, seorang filosof eksistensialis terkemuka, menekankan bahwa manusia adalah "hakikatnya kebebasan," dan bahwa kebebasan tersebut mencakup kemampuan untuk memilih dan bertanggung jawab atas tindakan mereka tanpa adanya determinisme eksternal.

Perspektif eksistensialis menuntut pengakuan akan kebebasan individu dari keterbatasan yang diberlakukan oleh norma-norma gender yang tidak adil. Hal ini menuntut pengakuan bahwa setiap individu, tanpa memandang jenis kelaminnya, memiliki hak untuk mengejar makna dan tujuan hidup mereka sesuai dengan aspirasi dan nilai-nilai pribadi mereka sendiri.

Dengan demikian, pencapaian keadilan gender dalam perspektif eksistensialis bukanlah sekadar tentang menciptakan kesetaraan formal di atas kertas, tetapi juga tentang menciptakan lingkungan yang mendukung individu dalam mengekspresikan diri mereka tanpa rasa takut atau hambatan yang ditimbulkan oleh norma-norma gender yang tidak adil. Ini melibatkan transformasi budaya yang mendalam, di mana individu diberdayakan untuk menjalani hidup sesuai dengan keinginan dan aspirasi mereka sendiri, tanpa dibatasi oleh stereotip atau ekspektasi yang diberlakukan oleh masyarakat berdasarkan jenis kelamin mereka

Gelar Aulia S.Sos

 
Share: